Sunday 20 January 2008

Tugas Akhir Evaluasi Prog. Pendidikan

Refleksi Tahun Baru Hijriyah

Hidup dan kehidupan ini laksana samudera dengan seluruh “hukum” riak dan gelombang-nya, yang mesti diseberangi oleh semua manusia. Ada saat-saat romantik sekaligus mengasikkan bagi manusia di tengah “pelayarannya”: ketika angin mendesir lirih menyapa kulit, layar dan kemesraan. Perahu terkembang merefleksikan alunan tembang yang dinyanyikan anak-anak rantau. Betapa mesranya. Namun bukanlah merupakan sesuatu yang tidak mungkin bila suatu waktu manusia mesti menghadapi angin puyuh yang terkadang sampai merobek layar dan kekaraman yang bisa datang tiba-tiba. Ngeri!

Metafor hidup memang warna-warni!
Berangkat dari realitas hidup yang serba variatif dan tak terlepas dari berbagai kemungkinan itulah Kanjeng Nabi Muhammad sebagai wujud resume dari seluruh semesta pepujian menyampaikan pesannya kepada umatnya lewatAbu Zar al-Gifari , agar mereka selamat mengarungi kehidupan dan kembali ke haribaan Akunya yang besar, Rabb Al-‘Alamin seraya Ridha dan diridhai.
Pesan Muhammad yang terdiri dari empat point itu jelas merupakan lentera penerang jiwa di tengah lorong-lorong kehidupan yang semakin terkabutioleh atmosfir noda-noda yang diproduksi oleh manusia sendiridari hari ke hari.
Pertama; “perbaharuilah perahumu karena samudera ini sangat dalam”.
Dalam menjalani hidup dan kehidupan di atas panggung maya pada ini dengan mengaplikasikan misi fitrah kholiqiyah yang berdimensi transendental, manusia mesti berhadapan dengan silang-menyilangnya koordinat “ekstrimis- ekstrimis” yang terus menerus silih berganti menarik dirinya: berbagai anugerah yang membawa kesenangan kerapkali menyeret dan menjebak manusia untuk mereduksi eksistensi dirinya yang holistik yang di “paketkan” Tuhan semula, sehingga terjermbab di tengah buih keluapan dan kubangan nestapa. Pada momentum ini manusia mentransfigurasikan kegagalannya untuk mentransendensikan berbagai anugrah tersebut, “mengembalikannya” kepada yang maha empunya: Gusti Allah. Demikian pula ketika dilanda bermacam kesulitan, kenelangsaan dan kesengsaraan yang merupakan ujian terhadap ketangguhan imannya, manusia seringkali “menciptakan” jalan buntu untuk tidak sampai pada tujuan yang sejati, yaitu tempat menyatunya awal dan akhir: Allah Rabbun Jalil.
Seperti halnya ketika manusia mengimplementasikan pertaruhan-pertaruhannya untuk mereguk keinginan-keinginanya yang disuarakan oleh gejolak syahwati yang tidak terdidik: tidak jarang mereka mendiskritkan dan bahkan menginjak ludes aturan main kehidupan yang tidak hanya berdampak destruktif terhadap kemanusiaan-nya sendiri, tapi lebih parah lagi bagi kehidupan masyarakat luas.
Kondisi syaitoniyyah sering terjadi di kalangan pemenang kekuasaan –baik di tingkat lokal maupun nasional- untuk merekrut keuntungan pribadi atau golongan tertentu. Kebutaan dan ketulian terhadap nasib orang lain telah merenggut mereka.
Itulah pemahaman saya terhadap puisi Muhammad: “samudera ini amat dalam”, yang badai dan gelombangnya terus menerjang manusia “untuk” berpasangan dengan maut kubro: suatu kematian yang tidak hanya menimpa jasadnya, tapi lebih merupakan wujud realitas ketercerabutan ruh kemanusiaan dan kehidupannya. Amat berbahaya.
Dengan demikian, maka adanya reformasi dan penyegaran terhadap syariat secara aplikatif yang diungkapkan dengan terminologi “perahu” dalam dunia sufistik sebagaimana pesan pertama Muhammad “perbaharuilah perahumu” merupakan keharusan kontinuitas bagi umat beragama –kaum muslimin secara spesifik- sehingga “stabilitas” perjalanan menuju Tuhannya tetap menyertai selama di atas arena pergulatan hidup. Karena saya sebagaimana juga mungkin anda, telah menyepakati bahwa syariat merupakan kontribusi Tuhan terbesar setelah nurani, yang keduanya diharapkan menemukan konfergensi baik pada tataran vertikal seperti ibadah mahdah maupun pada realita kehidupan sosial.
Istilah syariat di sini jelas tidak seperti yang terbayangkan dalam formulasi fiqih yang telah mengalami penyempitan dan bahkan distorsi. Teapi lebih merupak substansi dari “tawaran-tawaran” Tuhan lewat jalur para nabi dan rasulNya agar tercipta kedamaian, kehangatan dan kemakmuran dalam kehidupan.
Kedua: “persiapkanlah bekal yang banyak, karena perjalanan ini amat panjang”.
Semenjak bersentuhan dengan hidup, manusia berarti telah memasuki start pelepasan di arena perlombaan yang dicanangkan Tuhan yang berlaku sepanjang hayat: suatu “paket” kompetisi yang tugu finisnya merupakan barometer bagi keberhasilan dan kegagalan mereka merekrut bekal untuk kehidupan setelah kehidupan ini.
Istilah bekal di sini, tentu tidak menunjuk pada tumpukan uang atau materi sebagaimana yang dipergunakan seseorang ketika bepergian menuju negeri rantau, tetapi jelas memberikan aksentuasi kepada nilai dan hakekat perbuatan baik dan terpuji. Karena di alam akhirat kelak manusia “Cuma”menerima buah dari pohon kehidupannya yang ditanam di dunia sebagai konsekuensi logis. Juga secara esensial perjalanan hidup ini adalah perjalan ruhani. Bukan materi atau jasmani.
Dalam menempuh perjalanan hidup yang berkelok-kelok dan amat jauh ini, membawa bekal sebanyak-banyaknya merupakan suatu keharusan bagi manusia agar tetap dalam kondisi survive dan berseri ketika mau memasuki ruangan di pengadilan akbar: suatu pemeriksaan yang ultra ketat terhadap seluruh nilai perbuatan manusia yang digelar di hadapan Ahkamul Hakimin, Allah SWT.
Ketiga: “ Ringankanlah bebanmu, karena jalan mendaki ini teramat sulit dan melelahkan”.

Manusia dan seluruh kreasi Tuhan lain yang mewujud secara empirik di kehidupan ini adalah wujud nyata kerangka-kerangka yang bersemayam dalam diri-NYa di “zaman” azali. Semacam realitas percikan api yang dikeluarkan dari tubuhnya. Maka adanya manifestasi yang konkret dalam setiap perilaku dan sangkan paraning dumadi, la manja wala maljaa illa ilaika, merupakan tuntunan bagi manusia sebagai mahluk istimewa yang dipikuli amanah agar dapat kembali menyatu di pangkuanNya semula.
Siapapun yang berjalan di dunia spiritualitas, keberagamaan yang hakiki, mesti berpasangan dengan kemarung dan duri-duri kehidupan yang harus ditepis. Apalagi di era sekarang yang semakin dibanjiri hegemoni-hegemoni budaya destruktif yang mau menguburkan suara-suara ilahiyah yang bersumber dari jiwa. Kesucian yang merupakan partikuler cahaya Tuhan dalam diri manusia telah banyak diserimpung oleh nafsu materi dan kedudukan.

Betul-betul jalan mendaki yang tak semudah membalik tangan untuk melewatinya. Maka manusia yang menyadari posisi dirinya sebagai musafir menuju pertapaannya yang sejati: Allah, tidak akan menampakkan kedunguannya dengan menggendong beban yang berupa dosa-dosa untuk memberati dan merobohi dirinya sendiri. Mereka yang sebenarnya cerdas mesti membebaskan diri dari keterkaitannya dengan debu-debu maksiat yang menyendat langkah-langkahnya.

Dari sini kita dapat memahami, bahwa pelanggaran terhadap aturan yang digariskan Allah lebih menunjukkan indikasi kegoblokan ketimbang kejahatan.
Keempat: “Berikhlaslah dalam setiap perbuatanmu, karena zat yang membedakan antara yang haq dan yang bathil Maha melihat”.
Seluruh ajaran Islam pada intinya merupakan doktrin stimulatif bagi manusia untuk mengekspresikan kecintaannya kepada Sumber Segala cinta: Rabbul Jamali. Dari pemahaman ajaran tersebut, benih-benih cinta yang bersemi dalam cahaNya di relung jiwa manusia akan melahirkan prilaku-prilaku yang murni dan karenanya menjadi ikhlas.
Ikhlas adalah jantung dari segala perbuatan yang ditawajjuhkan kepada Allah SWT. Ikhlas adalah energi batinyiah yang sanggup memunculkan nilai-nilai substansial. Ikhlas adalah wujud nyata suara ruhiyah yang hanya berorientasi pada suatu arah: Allah SWT. Ikhlas adalah nur tauhidiyah yang kontradiktif dengan isyrak, yaitu pencampuradukan tujuan dalam berbuat.
Oleh karena itu manusia harus menyadari, bahwa semua tingkah laku akan menemukan posisinya di sisi Tuhan manakala telah tercuci dari sentuhan riya` dan sum`ah. Perbuatan manusia akan lolos di hadapan Tuhan hanya manakala bebas dari orientasi pamrih dari selainNya. Hanyalah perbuatan yang Allah Sentris yang akan menjadi pohon raksasa yang dapat dinikmati buahnya, berupa keteduhan batin dan ketegaran jiwa.
Di era konsumtivisme, industrialisme, hedonisme dan isme-isme lainnya sekarang ini, siapapun harus siaga dengan kuda-kudanya untuk menjernihkan metabolisme hati sebagai wahana pertarungan ketulusan dan kekeruhan kehendak. Karena sebagaimana kita sadari, betapa gejolak nafsu materialisme dengan seluruh ragam metodiknya telah begitu menjamur di panggung prilaku manusia. Betapa kecintaan terhadap kefanaan yang sia-sia semakin diperturutkan dan diumbar-umbar oleh bahasa gerak manusia. Jiwa yang merupakan cerminan dari wujud bayang-bayang Tuhan yang paling transparan semakin terhimpit langkahnya oleh keserakahan dimensi Iblisiyah manusia.

Wallahu A`lamu bish-Shawab

Bias Gender dalam Pendidikan

Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 mengakui secara gamblang bahwa status dan peranan perempuan dalam masyarakat Indonesia dewasa ini masih bersifat subordinatif dan belum sampai pada posisi sebagai mitra sejajar dengan laki-laki. Dengan demikian negara mengakui akan adanya ketimpangan gender tersebut. Indikator dari ketimpangan gender ini tercermin pada tingkat kualitas hidup perempuan Indonesia yang menduduki peringkat paling rendah di ASEAN.

Rendahnya kualitas hidup perempuan Indonesia terlihat pada beberapa aspek diantaranya adalah pada aspek pendidikan.Fakta menunjukkan rendahnya angka partisipasi perempuan di jenjang pendidikan tinggi, yakni kurang dari 5%. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat disparitas (ketidakseimbangan) gendernya. Data lainnya adalah angka buta huruf dikalangan perempuan masih sangat tinggi: kurikulum serta materi bahan ajar masih sangat bias gender; dan hampir seluruh proses pengelolaan pendidikan masih dirumuskan berdasarkan pandangan yang male bias sebagai akibat dari masih dipegangnya sebagian besar penentu kebijakan pendidikan oleh laki-laki.

Sebagai bukti bahwa pemegang kebijakan dalam bidang pendidikan lebih di dominasi laki-laki dibandingkan perempuan dapat dilihat pada perbandingan dari setiap 100 guru SD, 54 orang adalah perempuan dan dari 100 guru sekolah menengah, 38 orang diantaranya adalah perempuan. Sementara itu tenaga dosen lebih dominan laki-laki, dari 100 dosen hanya 29 orang adalah perempuan.

Kepemimpinan dalam pendidikan juga lebih didominasi laki-laki dibandingkan perempuan

Sementara itu komposisi kepala madrasah negeri berdasarkan gender pada tahun yang sama juga lebih di dominasi laki-laki; 80,7 (laki-laki) sementara 19,3 (perempuan). Di atas jelas menunjukkan meski acuan ideologi gender juga melekat dalam dunia madrasah tetapi jumlah keterwakilan perempuan sebagai tenaga kependidikan tidak terpresentasikan dalam kepemimpinan kependidikan, meski kenyataannya rasio perempuan sebagai tenaga kependidikan lebih banyak daripada laki-laki

Paparan diatas jelas menggambarkan kecenderungan siswa perempuan lebih banyak daripada laki-laki untuk masuk ke madrasah. Kenyataan di atas sesungguhnya banyak mengandung muatan yang berkaitan dengan ideologi gender yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan „sebagai penjaga moral“ maka dengan sendirinya banyak anak perempuan yang dimasukkan ke madrasah yang selama ini dikenal sebagai salah satu jenjang pendidikan yang bernuasa agama atau memberikan pendidikan keagaman lebih besar dibandingkan sekolah umum.

Sementara untuk anak laki-lakinya dipilihkan sekolah umum dengan harapan setelah menyelesaikan sekolahnya dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan hal ini sesuai dengan konstruksi masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga yang berkewajiban mencari nafkah.

Jika dianalisa lebih mendalam sesungguhnya ketika orang tua lebih banyak yang memasukkan anak perempuannya ke Madrasah Aliyah dibandingkan anak yang laki-laki hal ini juga dikarenakan berkembangnya ideologi gender di masyarakat yang menganggap peran perempuan lebih banyak dalam ranah domestik ( rumah tangga), dengan sendirinya perempuan dituntut untuk menjadi ibu dan isteri yang baik dengan kriteria antara lain; patuh dan taat kepada suami dan menjadi pelayan yang baik bagi anak dan suaminya. Dengan kata lain tugas mulia perempuan adalah –menjaga tatanan moral-Keluarga.

Bias Gender dalam buku ajar Agama Islam

Terdapat beberapa bagian yang bias gender dalam kurikulum agama Islam diantaranya pada materi aqidah-akhlaq dan fiqh-ibadah. Sebagai contoh dalam buku ajar agama Islam untuk kelas 4 SD,bab XIV tentang “Iman kepada Rasul-rasul Allah, “ dijelaskan bahwa ‘pengertian Nabi ialah seorang manusia biasa (laki-laki) yang menerima wahyu dari Allah Swt. Untuk dirinya sendiri. Rasul ialah seorang manusia biasa (laki-laki) yang diutus oleh Allah dan menerima wahyu untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya”.

Selain itu, dalam buku-buku ajar agama Islam untuk SD mulai kelas 1-3, Kisah-kisah Nabi dan Rasul diceritakan hanya kisah Nabi dan Rasul dari kaum laki-laki saja. [13]Hal senada juga dapat dilihat pada tema Profil tokoh di dalam buku ajar SMP kelas 3 terbitan Ganeca [14] juga pada tema Sepenggal Kisah atau Kisah Islami dalam buku ajar SD Kelas 1-6 terbitan Erlangga. Di dalam dua buku terakhir yang penulis sebutkan profil tokoh yang dikisahkan lebih banyak pada gambaran ketokohan dan ketauladanan seorang laki-laki dibandingkan perempuan. [15] Dari teks di atas dapat dipahami bahwa yang dapat menjadi nabi dan rasul hanyalah seorang yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan perempuan tidak dapat menjadi seorang nabi dan rasul.

Bias Gender yang lain dalam buku ajar Agama Islam juga terdapat dalam bentuk gambar dimana dalam topik Takabur(sombong) digambarkan sekelompok perempuan yang sedang membicarakan seorang perempuan yang sombong.

Secara implisit ilustrasi gambar yang diberikan juga telah menumbuhkan dan membangun bias gender bagi yang membaca ataupun melihatnya dimana perempuan akan diidentikan dengan sosok yang suka mengunjing, menggosip dan sebagainya. Hal senada juga dapat dilihat pada bahasan rukun iman dimana terdapat satu keluarga yang sedang beraktifitas; sosok anak laki-lakinya digambarkan sedang belajar, Ayahnya sedang melihat pemandangan, sementara si Ibu memasak di dapur.

Selain melalui gambar, bias gender juga dapat terlihat pada ungkapan ataupun narasi kalimat dalam uraian materi.Dalam uraian pokok bahasan adab makan dan minum, terdapat kalimat,” kemudian bantulah ibumu membereskan meja makan’ dengan ilustrasi gambar adegan keluarga yang selesai makan,si Ibu dan anak perempuan membereskan peralatan makan, sementara ayah dan anak laki-lakinya sedang berbincang-bincang.Hal ini jelas sekali menunjukkan domestifikasi pekerjaan perempuan.

Kalimat yang mengandung bias genderpun terdapat dalam bahasan pengenalan huruf dan tanda baca al-Qur’an:

Kalimat-kalimat di atas tersebut mensosialisikan domestifikasi pekerjaan perempuan dalam rumah tangga. Sementara itu dalam tema-tema tentang wudu, salat berjama’ah (fiqih) mayoritas gambar yang dibuat adalah gambar laki-laki.Penggambaran ini bagi penulis juga bernuasa bias gender karna kewajiban pelaksanaan dan praktek ibadah (fiqih) tidak hanya dibebankan kepada laki-laki tetapi juga bagi perempuan.

Persoalan bias gender kedua dalam masalah fiqih, yang lain adalah tentang salat jama’ah, munakahat, udhiyah dan mawarits.(1) Dalam buku pendidikan Agama Islam untuk SD KELAS 3 Bab VI tentang Shalat jama’ah [20] dijelaskan bahwa ketentuan menjadi imam, yaitu :(a)laki-laki mengimami laki-laki-laki;(b)laki-laki mengimami perempuan; (c)perempuan mengimami pertempuan; (d)laki-laki mengimami banci;(e)banci mengimami perempuan [21]. Dalam buku itu, Latihan II No.3, terdapat pertanyaan: “ Bolehkan perempuan mengimami laki-laki ?”

Hal senada juga terdapat dalam buku Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam untuk kelas 1 SLTP, Bab VII tentang salat berjama’ah,dijelaskan bahwa syarat-syarat menjadi imam, yaitu; (a)sehat akalnya;(b)harus baik dan benar bacaannya; (c)harus laki-laki( tidak boleh perempuan menjadi imam laki-laki;(d)lebih tua umurnya;(f)hendaknya memiliki pengetahuaan yang memadai, khususnya tentang salat berjama’ah.

Dari teks di atas, dapat dipahami bahwa perempuan tidak dapat menjadi imam bagi laki-laki dengan dipertegas salah satu syarat untuk menjadi imam adalah harus laki- laki (tidak boleh perempuan menjadi imam). Dari teks ini timbul pertanyaan, “Mengapa perempuan tidak boleh mengimami laki-laki?’, “bagaimana jika yang menjadi makmum itu laki-laki yang masih kanak-kanak?”, “ atau bolehkah perempuan mengimami laki-laki karena bacaan salatnya lebih fasih dan ‘alim dibandingkan laki-laki yang menjadi makmum?’.

(2) Dalam buku Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam untuk kelas 1 SLTP, Bab XII tentang munakahat, dijelaskan bahwa” dalam ajaran Islam tidak ada larangan seorang laki-laki beristri sampai batas empat. Akan tetapi, untuk melaksanakan hal itu harus dapat memenuhi syarat-syarat yang sangat berat, yaitu bisa berlaku adil dalam mengatur kebutuhan tiap-tiap istri”. Dasar hukum yang digunakan adalah surah An-Nisa : 3. Selain itu, dijelaskan bahwa salah satu alasan boleh melakukan poligami adalah untuk menghindarkan seorang laki-laki melakukan perzinahan, karena istrinya dalam keadaan sakit yang menahun dan tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri, dan sebaginya.

Dari teks tersebut, tampak bahwa dasar hukum bagi poligami diambil dari surah An-Nisa ayat 3 dan Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 5 tentang poligami yang menjelaskan bolehnya poligami yaitu :(1) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri; (2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan (3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Berdasarkan Asbab an-Nuzul diketahui jelas permasalahan ayat tersebut bukan dalam konteks perkawinan melainkan dalam konteks pemeliharaan anak yatim. Dalam masalah ini penyusun buku tampaknya memandang alasan dibolehkannya praktik berpoligami hanya dilihat dari perspektif kepentingan laki-laki, tidak mempertimbangkan kepentingan perempuan. (3) Dalam buku Pedoman Belajar Agama Islam untuk SLTP kelas 2, bab 13 tentang udhiyah, dijelaskan bahwa,” aqiqah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan anak perempuan sebanyak satu ekor kambing [25]’.Dari teks ini dipahami bahwa adanya diskriminasi terhadap anak, yaitu harga anak laki-laki dua kali lipat harga anak perempuan (2:1). Terdapat bias gender disana, pertanyaannya “ Mengapa harus dibedakan antara anak laki-laki dan perempuan?’.

(4) Dalam buku Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam untuk kelas 3 SMU, Bab mawarits, dijelaskan bahwa” bagian satu anak laki-laki dua kali lipat bagian satu anak perempuan ketentuan mawarits ini didasarkan pada surah an-Nisa ayat 11 bahwa “ Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu, bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan….

Dari teks di atas, dapat dipahami bahwa harga seorang perempuan itu hanya setengah seorang laki-laki. Sementara itu menurut Huzaemah Tahido Yanggo dalam melihat Asbab an-nuzul ayat ini menyatakan bahwa hal ini menunjukkan Islam bertujuan meningkatkan hak dan derajat perempuan, pada satu sisi. Pada sisi yang lain, menunjukkan adanya kesejajaran dalam perolehan hak kewarisan, perempuan tidak selalu mendapatkan setengah dari bagian laki-laki.

Tuesday 13 November 2007

resensi buku

Resensi Buku

Judul Buku : Membangun Visi Bersama: Aspek-Aspek Penting dalam Pendidikan

Penulis : Isjoni

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Edisi : 2006

Tebal :163

Elemen-Elemen Penting dalam Reformasi Pendidikan

Pendikan sebagai proses pembudayaan tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan hidup bersama masayarakat yang berbudaya. Meminjam penadapat HAR Tilaar, desentralisassi pendidikan mempunyai dua tuntutan, yaitu akuntabilitas horizontal, artinya skuntabilitas terhadap masyarakat sebagai pemiliknya, dan akuntabilitas vertiikal di dalam hidup bersama sebagai satu bangsa, maka pendidikan juga mempunyai fungsi di dalam pengembangan bangsa Indonesia.

Menurut Isjoni, dua hal pokok ini merupakan implementasi desentralisasi pendidikan. Pertama, Manajemen berbasis Sekolah (School Based Management). Konsep ini secara hakiki adalah pemberian otonomi kepada sekolah dalam meyelenggrakan kegiatan pendidikan. Dalam hal ini sekolah wajib memberdayakan atau melibatkan peran serta atau partisipasi masayarakat dalam pengelolaan rumah tangga sekolah dengan tetap mengacu pada kerangka kebijakan nasional. MBS dilaksaanakan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya sesuai dengan prioritas kebutuhan dn tanggap terhadap kebutuhan setempat.

Otonomi sekolah selama ini, jelas Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau ini, belum diberikan kepada pengelola sekolah beserta aparatnya. Hasil survey Bank Dunia menyimpulkan bahwa (1) kepala sekolah tidak memiliki kewenangan yang cukup dalam mengelola keuangan sekolah yang dipimpinnya; (2) kemampuan manejemen kepala sekolah pada umumnya masih rendah; (3) pola anggaran tidak memungkinkan bagi guru yang berprestasi baik untuk memperoleh insentif; dan (4) peran serta masyarakat sangat kecil dalam pengelolaan sekolah. Konsep MBS diharpakan dapat lebih leluasa dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki serta makin bersemangat dalam membuat langkah-langkah inovasi.

Efesiansi, transparansi dan akuntabilitas menjadi pegangan penting dalam penyelenggaraan MBS. Sejalan dengan itu, pada tingkat sekolah dibentuk suatu komite ayng disebut Komite Sekolah atau Dewan Sewkolah. Keanggotaan Komite Sekolah atau Dewan Sekolah terdiri dari para tokoh masyarakat atau wakil dari lembaga swadaya-masyarakat (LSM) dan lembaga social kemasyarakatan (LSK) lainnya yang bergerak dan berminat dalam bidang pendidikan.

Kedua, Pendidikan Berbasis Masyarakat (Community Based Education). Selama ini masyarakat memilki potensi besar untuk menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan setempat dengan mengandalkan kekuatan dan sumberdaya yang digali dari masyarakat. Dalam khazanah bangsa kita, sudah sejak lama berkembang lembaga-lembaga “tradisonal”, seperti pesantren yang menggunakan prinsip ini. Lembaga-lembaga seperti itu tumbuh dan berkembang secara mandiri, tanpa banyak ukuran tangan pemerintah.

Pada umumnya lembaga tradisional tersebut memang sangat lemah dengan jumlah siswa yang terbatas. Tetapi dewasa ini sudah mulai banyak yang berkembang pesat dan “modern”. Sumber daya yang perlakukan digali dan dikembangkan dari potensi lokal dengan melibatkab peran serta masyarakat sekitar secara lebih nyata. Aktivitasnyapun berkembang tidak hanya berupa kegiatan pendidikan, tetapi juga kegiatan ekonomi produktif.

Dari hasil kegiatan ekonomi yang produktif itulah kebutuhan dana pendidikan dipenuhi. Yang menarik adalah para siswa dilibatkan dalam kegiatan ekonomi, sehingga mereka tidak hanya menuntut ilmu, tetapi juga memperoleh keterampilan yang dapat digunakan sebagai bekal untuk menjalani kehidupan setelah tamat nanti. Konsep yang menjadi kekayaan social-budaya masyarakat kita sejak lama itu sangat sejalan dengan gagasan life skill.

Demikian sekilas ggagasan ide-ide cerdas yang dikupas dalam buku ini. Selamat membaca.

Tuesday 6 November 2007

BEBERAPA SYARAT MENJADI EVALUATOR

Untuk menjadi seorang evaluator maka perlu mempunyai beberapa keterampilan dan kriteria. :1. Mampu melaksanakan, adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluasi yang didukung oleh teori dan keterampilan praktik. 2. Cermat, adalah mereka dapat melihat celah-celah dan detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi. 3. Objektif, adalah mereka tidak mudah dipengaruhi oleh keinginan pribadi, agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan keadaannya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan sebagaimana diatur oleh ketentuan yang harus diikuti. 4. Sabar dan objektif, adalah agar di dalam melaksanakan tugas dimulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrument, mengumpulkan data, dan menyusun laporan, tidak gegabah dan tergesa-gesa. 5. Hati-hati dan bertanggung jawab, adalah melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat, berani menanggung risiko atas segala kesalahannya.Ada dua kemungkinan asal (dari mana) orang untuk dapat menjadi evaluator program ditinjau dari program yang akan dievaluasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menentukan asal evaluator harus mempertimbangkan keterkaitan orang yang bersangkutan dengan program yang akan dievaluasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut evaluator dapat dikalsifikasikan menjadi dua macam, yaitu evaluator dalam (internal evaluator) dan evaluasi luar (eksternal evaluator).Internal Evaluator adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program yang dievaluasi. Adapun kelebihan dan kekurangan dari internal evaluator yaitu:Kelebihan:Pertama, Evaluator memahami betul program yang dievaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. Dengan kata lain evaluasi tepat pada sasaran. Kedua, Karena evaluator aalah orang dalam, pengambil keputusan tidak perlu banyak mengeluarkan dana untuk membayar petugas evaluasi.Kekurangan:Pertama, Adanya unsure sebjektifitas dari evaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek positif dari program yang dievaluasi dan menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain, evaluator internal dapat dikhawatirkan akan bertindak subjektif. Kedua, Karena sudah memahami seluk beluk program, jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar, kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehinga kurang cermat.Eksternal Evaluator adalah orang-orang yang tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. Mereka berada di luar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program atau berada di luar program dan dapat bertindak bebas sesuai dengan keinginan mereka sendiri, maka tim evaluator luar ini biasa dikenal dengan nama tim bebas atau independent team. Kelebihan:Pertama, Oleh karena tidak berkepentingan atas keberhasilan program maka evaluator luar dapat bertindak secara objektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil kesimpulan. Apa pun hasil evaluasi, tidak akan ada respons emosional dari evaluator karena tidak ada kepentingan untuk memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan kenyataan dan keadaan. Kedua, Seorang ahli yang dibayar biasanya akan memprtahankan kredibibilitas kemampuannya. Dengan begitu, evaluator akan bekerja secara serius dan hati-hati.Kekurangan: Pertama, Evaluator luar adalah orang baru yang sebelumnya tidak mengenal kebijakan tentang program yang akan dievaluasi. Mereka berusaha mengenal dn mempelajari seluk-beluk program tersebut setelah mendapat permintaan untuk mengevaluasi. Kedua, Pemborosan, pengambil keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membayar evaluator bebas.Untuk menghasilkan evaluasi yang baik, maka petugas evaluasi harus berasal dari dalam dan luar program, yaitu gabungan antara orang-orang di dalam program digabung dengan orang-orang dari luar. Sedangkan perbedaan menonjol antara evaluator luar dengan evaluator dalam adalah adanya salah satu langkah penting sebelum mereka mulai melaksanakan tugas. Oleh karena evaluator luar adalah pihak asing yang tidak-tahu menahu dan tidak berkepantingan dengan program, yang diasumsikan belum memahami seluk-beluk program maka terlebih dahulu tim tersebut perlu mempelajari program yang akan dievaluasiPerbedaan evaluator eksternal dan internal:Evaluator eksternal adalah orang-orang yang tidak terkait dalam kebijakan dan implrmentasi program. Mereka berada diluar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program atau keterlaksanaan kebijakan yang sudah dilaksanakan.Evaluator internal adalah petugas enaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program yang dievaluasi.Perbedaannya:Evaluasi eksternal:• sulit untuk mengetahui tentang program lebih banyak • lebih dapat objektif • lebih kritis dan lebih mencari hal-hal atau informasi yang lebih pentingEvaluasi internal:• lebih mengetahui tentang program daripada orang lain • sulit untuk 100% objektif • lebih banyak mengetahui hal-hal yang sifatnya kontekstual

Tuesday 2 October 2007

jenis-jenis validitas

Macam-Macam Validitas Instrumen


Pada umumnya para ahli pengukuran, khususnya pengukuran dalam bidang psikologi dan pendidikan, menggolongkan validitas menjadi beberapa tipe, yaitu:
Validitas konstruk (construct validity),
Validitas isi (content validity), dan
Validitas kriterion (kriterion-related validity).
(Kerlinger, 2000:686; Babbie, 2004:144-145).
Untuk validitas konstruk dan validitas isi, kriteria yang digunakan dalam pengambilan keputusan, dilakukan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan logis, konseptual, dan menggunakan dasar-dasar penalaran tertentu, tanpa harus melakukan uji empiris atau uji lapangan. Sebaliknya, pada validitas kriterion, proses validasinya dilakukan melalui pengujian empiris atau uji lapangan, yaitu dengan jalan mengkorelasikan hasil pengukuran dari instrumen yang kita susun dengan suatu kriterium yang dipandang valid. Bila peneliti memilih tipe validitas korelasional, maka pengambilan keputusan untuk menyatakan apakah instrumen tersebut valid atau tidak, dilakukan dengan menghitung korelasi dengan menggunakan taraf siginifikansi 0,05. Ada dua tipe dari validitas korelasional ini, yaitu validitas konkuren (concurrent validity), dan validitas prediktif (predictive validity).
a. Validitas konstruk
Validitas konstruk berhubungan dengan pertanyaan: seberapa jauh instrumen yang kita susun mampu menghasilkan butir-butir pertanyaan yang telah dilandasi oleh konsep teoritik tertentu. Validitas konstruk disusun dengan mendasarkan diri pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan konseptual yang didukung oleh teori yang sudah mapan. Proses menentukan validitas bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Untuk dapat menyusun validitas konstruk, peneliti harus menguasai secara mendalam teori-teori yang relevan, ditambah dengan pengalaman menyusun instrumen, konsultasi dengan ahli di bidangnya, dan diskusi dengan teman sejawat (peers). Oleh karena itu untuk memantapkan validitas konstruk ini, peneliti dianjurkan untuk memperoleh masukan berupa penilaian, pertimbangan dan kritik-kritik dari para ahli dalam bidang yang terkait. Prosedur seperti itu dikenal dengan apa yang disebut dengan expert judgment.
Langkah-langkah yang ditempuh untuk memperoleh suatu konstruk yang diharapkan, biasanya melalui prosedur sebagai berikut:
1. melakukan analisis logik, dan
2. melakukan analisis hubungan dan atau perbedaan dengan konstruk lain.
Analisis logic dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Peneliti membuat definisi operasional mengenai konstruk atau konsep yang dimaksud dengan berlandaskan diri pada teori-teori yang relevan;
2. Peneliti melakukan justifikasi mengenai suatu konstruk yang diperkirakan dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai suatu konstruk atau konsep yang dimaksud. Dalam hal ini penyusun instrumen dapat menganut salah satu teori atau melakukan suatu sintesa, atau memodifikasi teori yang ada yang dianggap relevan;
3. Operasionalisasikan konstruk yang secara konseptual telah mantap ke dalam indikator-indikator, bahkan sampai ke dalam sub indikator (prediktoi), sehingga perilaku atau gejalanya dapat diukur dan diamati;
4. Lakukan check-recheck untuk meyakinkan bahwa apa yang telah dirumuskan tersebut benar-benar telah menggambarkan konstruk yang dimaksud.
Analisis hubungan dan atau analisis perbedaan dilakukan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Kumpulkan konstruk atau konsep-konsep lain yang sama atau serupa dengan konsep yang kita maksudkan. Di samping mengumpulkan konsep-konsep yang sama, juga kumpulkan konsep-konsep lain yang berbeda. Mencari konsep-konsep yang sama atau berbeda tersebut dimaksudkan agar diperoleh keyakinan yang kuat dan mendalam bahwa konsep atau konstruk yang dimaksudkan secara teoritik dan logik benar.
2. Suatu konstruk yang semula telah dianggap benar, akan tetapi apabila dikemudian hari diperoleh informasi baru, baik informasi baru tersebut berasal dari teori dan atau yang berasal dari sejawat atau ahli yang relevan, peneliti harus siap melakukan modifikasi secukupnya;
3. Kumpulkan bukti-bukti dari sumber lain yang dipandang dapat mendukung konstruk yang dimaksud, misalnya hasil pengukuran dengan instumen yang sejenis mengenai objek, gejala, atau perilaku yang serupa, merupakan sumber yang sangat berharga untuk dipertimbangkan.
Validitas Isi
Validitas isi berhubungan dengan kemampuan instrumen untuk menggambarkan atau melukiskan secara tepat mengenai domain perilaku yang akan diukur. Misalnya instrumen yang dibuat untuk mengukur kinerja karyawan, maka instrumen tersebut harus dapat melukiskan secara benar mengenai kinerja karyawan sebagaimana diuraikan dalam deskripsi tugas-tugas karyawan. Contoh lain lagi misalnya instrumen yang disiapkan untuk mengukur prestasi belajar siswa, maka instrumen tersebut harus dapat melukiskan dengan benar prestasi belajar siswa sesuai dengan standar prestasi sesuai dengan materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa. Kalau pada instrumen kinerja peneliti melakukan analisis kinerja sebagaimana yang ditetapkan dalam deskripsi tugas (job description), maka pada instrumen untuk mengukur prestasi belajar, peneliti harus melakukan analisis materi pelajaran, mulai dari pembagian bab per bab, sampai pada uraian setiap pokok bahasan.
Ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam memaknai validitas isi, yaitu:
1. menyangkut validitas butir, dan
2. menyangkut validitas sampling.
Validitas butir berhubungan dengan pertanyaan: seberapa jauh butir-butir instrumen dapat mencerminkan keseluruhan isi dari aspek atau domain yang hendak diukur. Validitas sampling dihadapkan pada pertanyaan: seberapa jauh butir-butir instrumen tersebut merupakan sampel yang representatif dari keseluruhan aspek atau bahan atau domain yang diukur.
Dengan memaknai komponen-komponen tersebut (butir dan sampling), penyusun instrumen sebelum menyajikan butir-butir pertanyaan, terlebih dahulu ia harus menyusun daftar yang memuat keseluruhan isi dari materi atau domain yang dimaksud. Keseluruhan domain tersebut dijabarkan ke dalam aspek-aspek yang yang lebih terperinci, kemudian dideskripsikan indikator-indikatornya, sampai ke sub-sub indikator, sehingga gejalanya dapat diukur dan diamati. Selanjutnya untuk lebih meyakinkan diri tentang semua yang telah dilakukan tersebut, penyusun instrumen dapat meminta pertimbangan dari kolegia atau ahli yang kompeten melalui forum diskusi antar ahli. Pertimbangan-pertimbangan itu berupa saran, masukan, kritik, dan evaluasi, yang dimaksudkan memperbaiki dan menyempurnakan instrumen yang kita susun.
c. Validitas Kriterion
Validitas kriterion yang dimaksud di sini ialah validitas instrumen yang diperoleh dengan membandingkan instrumen yang kita susun/buat dengan suatu kriterium eksternal. Kriterion eksternal yang dimaksud di sini adalah berupa hasil pengukuran yang menurut pertimbangan rasional dapat dipertanggungjawabkan. Ada dua kriteria yang sering digunakan oleh para ahli, yaitu:
1. Kriterion konkaren (concurrent criterion), dan
2. Kriterion prediktif (predictive criterion).
Apabila peneliti menggunakan kriterion konkaren, peneliti harus mencari hasil-hasil pengukuran lain yang pernah dilakukan orang, mengenai domain yang sama dengan domain yang sedang kita siapkan instrumennya,yang dipandang atau diakui sudah valid. Sebagai contoh misalnya peneliti ingin menyusun instrumen mengenai tes masuk suatu perguruan tinggi. Untuk keperluan ini peneliti mengkomparasikan hasil tes masuk perguruan tinggi dengan nilai rapor akhir kelas III SMU, melalui analisis statistik korelasi. Bila hasil korelasi menunjukkan ada korelasi dengan taraf signifikansi 0,05, maka instrumen yang kita susun dapat disimpulkan sebagai instrumen yang valid.
Selanjutnya apabila peneliti ingin menggunakan kriterion prediktif, peneliti harus menunggu sampai diperolehnya hasil tes yang kita susun tersebut telah membuahkan hasil. Misalnya tes masuk sebuah mahasiswa sebuah perguruan tinggi itu dinyatakan baik (dalam hal ini valid), apabila tes yang dimaksud dapat memprediksi sukses mahasiswa setelah kuliah di perguruan tinggi tersebut. Sukses sebagai mahasiswa dapat ditunggu setelah mereka lulus menjadi sarjana. Hanya saja kalau kelulusan menjadi sarjana ini dipergunakan sebagai kriterion, maka peneliti harus menunggu 4-5 tahun, suatu waktu yang relatif lama. Bilamana peneliti merasa terlalu lama harus menunggu 4-5 tahun, peneliti dapat mengambil kriterion yang lebih pendek, misalnya hasil kelulusan mahasiswa pada semester pertama. Bila yang terakhir ini yang ditempuh, maka peneliti dapat membandingkan sekor hasil masuk perguruan tinggi dengan sekor mahasiswa pada akhir semester pertama, dengan jalan mengorelasikan sekor tes masuk dengan sekor akhir semester dari kelompok mahasiswa yang sama melalui analisis statistik korelasi. Bila hasil korelasi menunjukkan taraf signifikansi 0.05, maka instrumen yang disusun/dibuat dapat dinyatakan valid.
Apabila peneliti memilih menggunakan validitas kriterion, baik dengan menggunakan kriterion konkaren maupun kriterion prediktif, para ahli memberikan sejumlah pedoman untuk dipertimbangkan sehubungan dengan penggunaan kriterion ini, yaitu:
1. Bahwa kriterion yang digunakan harus relevan dengan instrumen yang sedang kita siapkan;
2. Bahwa kriterium yang kita tetapkan harus telah teruji secara emperis di lapangan, dan dipandang memiliki tingkat konsistensi yang cukup tinggi;
3. Bahwa kriterion yang digunakan harus sudah terbebas dari unsur-unsur bias;
4. Bahwa kriterium yang digunakan telah dipertimbangkan kelayakannya untuk tujuan-tujuan praktis tertentu.
Dari tipe-tipe validitas sebagaimana telah dibicarakan di muka, maka bila diringkas, tipe-tipe validitas tersebut dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. Validitas yang berorientasi pada hasil pengukuran, yang terdiri dari dua tipe, yaitu: validitas konkuren, dan validitas prediktif
2. Validitas teoritik atau logik atau konseptual, yang dikenal dengan validitas konstruk.

Monday 24 September 2007

Ekonomi Pendidikan

EKONOMI KERAKYATAN DALAM ERA GLOBALISASI

Banyak orang berpendapat bahwa sejak krismon 1997 Indonesia telah men­jadi korban arus besar “globalisasi” yang telah menghancur-leburkan sendi-sendi kehidupan termasuk ketahanan moral bangsa. “Diagnosis” tersebut menurut pendapat kami memang benar dan kami ingin menunjukkan di sini bahwa kecemasan dan keprihatinan kami sendiri sudah berumur 23 tahun sejak kami menyangsikan ajaran-ajaran dan paham ekonomi Neoklasik Barat yang memang cocok untuk menumbuhkan ekonomi (ajaran efisiensi) tetapi tidak cocok untuk mewujudkan pemerataan (ajaran keadilan). Pada waktu itu (1979) kami ajukan ajaran ekonomi alternatif yang kami sebut Ekonomi Pancasila. Pada tahun 1981 konsep Ekonomi Pancasila dijadikan “Polemik Nasional” selama 6 bulan tetapi selanjutnya digemboskan dan ditenggelamkan.

Kini 21 tahun kemudian, kami mendapat banyak undangan ceramah/seminar tentang ekonomi kerakyatan yang dianggap kebanyakan orang merupakan ajaran baru setelah konsep itu muncul secara tiba-tiba pada era reformasi. Kami ingin tegaskan di sini bahwa konsep ekonomi kerakyatan bukan konsep baru. Ia merupakan konsep lama yaitu Ekonomi Panca­sila, namun hanya lebih ditekankan pada sila ke 4 yaitu kerakyatan yang di­pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Inilah asas demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum pada penjelasan pasal 33 UUD 1945, yang oleh ST MPR 2002 dijadikan ayat 4 baru.

Mengapa tidak dipakai konsep Ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah kata Pancasila telah “dikotori” oleh Orde Baru yang memberi tafsiran keliru dan selanjutnya “dimanfaat­kan” untuk kepentingan penguasa Orde Baru. Kini karena segala ajaran Orde Baru ditolak, konsep Ekonomi Pancasila juga dianggap tidak pantas untuk disebut-sebut lagi.

Pada buku baru yang kami tulis di AS bersama seorang rekan Prof. Daniel W. Bromley “A Development Alternative for Indonesia”, bab 4 kami beri judul The New Economics of Indo­nesian Development: Ekonomi Pancasila, dengan isi (1) Partisipasi dan Demokrasi Ekonomi, (2) Pembangunan Daerah bukan Pembangunan di Daerah, (3) Nasionalisme Ekonomi, (4) Pendekatan Multidisipliner dalam Pembangunan, dan (5) Pengajaran Ilmu Ekonomi di Universitas. Kesimpulan kami tetap sama seperti pada tahun 1979 yaitu bahwa hanya dalam sistem Ekonomi Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat dicapai yaitu melalui etika, kemanusiaan, nasionalisme, dan demokrasi/kerakyatan. Berikut kami sampaikan terjemahan bab terakhir (bab 5) Summary and Implications dari buku kami tersebut.

Ringkasan dan Implikasi

Kami telah menelusuri sejumlah masalah yang sungguh memprihatinkan. Kegusaran utama kami adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan Indonesia telah dipengaruhi secara tidak wajar dan telah terkecoh oleh teori-teori ekonomi Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak tepat sebagai obat bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini.

Pakar-pakar ekonomi Indonesia yang memperoleh pendidikan ilmu ekonomi “Mazhab Amerika”, pulang ke negerinya dengan penguasaan peralatan teori ekonomi yang abstrak, dan serta merta merumuskan dan menerapkan kebijakan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan, yang menurut mereka juga akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat dan bangsa Indonesia.

Para “teknokrat” ini bergaul akrab dengan pakar-pakar dari IMF dan Bank Dunia, dan mereka segera tersandera ajaran dogmatis tentang pasar, dengan alasan untuk menemukan “lembaga dan harga-harga yang tepat”, dan selanjutnya menggerakkan mereka lebih lanjut pada penelitian-penelitian dan arah kebijaksanaan yang memuja-muja persaingan atomistik, intervensi pemerintah yang minimal, dan menganggung-agungkan keajaiban pasar sebagai sistem ekonomi yang baru saja dimenangkan. Doktrin ini sungguh sangat kuat daya pengaruhnya terutama sejak jatuhnya rezim Stalin di Eropa Tengah dan Timur dan bekas Uni Soviet. Nampaknya sudah berlaku pernyataan “kini kita semua sudah menjadi kapitalis”. Sudahkah kita sampai pada “akhir sejarah ekonomi?”. Belum tentu.

Keprihatinan kita yang kedua adalah bahwa pertumbuhan pendapatan nasional per kapita sebenarnya merupakan indikator paling buruk dari kemajuan serta pembangunan ekonomi dan sosial yang menyeluruh. Bagi mereka yang bersikukuh bahwa Indonesia harus terus mengejar pertumbuhan ekonomi sekarang, dan baru kemudian memikirkan pembagiannya dan keberlanjutannya, kami ingin mengingat­kan bahaya keresahan politik yang sewaktu-waktu bisa muncul. Kami secara serius menolak pendapat yang demikian. Suatu negara yang kaya dan maju berdasarkan sebuah indikator, jelas bukan negara yang ideal jika massa besar yang terpinggirkan berunjuk rasa di jalan-jalan. Keangkuhan dari pakar-pakar ekonomi dan komitmen mereka pada kebijakan ekonomi gaya Amerika merupakan kemewahan yang tak dapat lagi ditoleransi Indonesia. Praktek-praktek perilaku yang diajarkan paham ekonomi yang demikian, dan upaya mempertahankannya berdasarkan pemahaman yang tidak lengkap dari perekonomian, hukum, dan sejarah bangsa Amerika, mengakibatkan terjadinya praktek-praktek yang keliru secara intelektual yang harus dibayar mahal oleh Indonesia. Komitmen pada model-model ekonomi abstrak dan kepalsuan pengetahuan tentang proses pembangunan, mengancam secara serius keutuhan bangsa dan keserasian politik bangsa Indonesia yang lokasinya terpencar luas di pulau-pulau yang menjadi rawan karena sejarah, demografi, dominasi dan campur tangan asing, dan ancaman globalisasi yang garang. Kami khawatir Indonesia telah menukar penjajahan fisik dan politik selama 3½ abad, dengan 3½ dekade “imperialisme intelektual”. Sungguh sulit membayang­kan kerugian yang lebih besar lagi.

Gerakan Anti Globalisasi

Dalam 13 tahun terakhir sejak “Washington Concensus" [2] (1989) mengkoyak-koyak perekonomian negara-negara berkembang dari mulai Amerika Latin, bekas Uni Soviet, dan negara-negara Asia Timur, di mana-mana muncul gerakan untuk melawannya, yang disebut gerakan anti-globalisasi. Gerakan ini mengadakan unjukrasa (demonstrasi) menentang pertemuan-pertemuan WTO, IMF, dan Bank Dunia, mulai dari Seattle (1999), Praha (2000), sampai di Genoa Italia (2001). Dan berbagai LSM tingkat dunia (NGO) menerbitkan buku-buku yang menganalisis secara ilmiah. Terakhir terbit buku Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (Norton, 2002) yang diresensi di mana-mana karena Stiglitz kebetulan adalah penerima hadiah Nobel Ilmu Ekonomi 2001 dan justru pernah menjadi Wakil Presiden Senior Bank Dunia (1997-2000).

Washington Consencus adalah judul sebuah “kesepakatan” antara IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat yang tercapai di Washington DC berupa resep mengatasi masalah ekonomi negara-negara Amerika Latin yang dirumuskan oleh John Williamson sekitar tahun 1989 yaitu 10 kebijakan/strategi: (1) fiscal discipline, (2) A redirection of public expenditure priorities towards fields with high economic returns and the potential to improve income distribution, such as primary health care, primary education, and infrastructure, (3) Tax reform (to lower marginal tax rates and broaden the tax base), (4) Interest rate liberalization, (5) A competitive exchange rate, (6) Trade liberalization, (7) Liberalization of FDI inflows, (8) Privatization, (9) Deregulation (in the sense of abolishing barriers to entry and exit), dan (10) Secure property rights.

Dari segi teori, perlawanan terhadap “imperialisme intelektual” ilmu ekonomi Neoklasik sudah lebih lama meskipun juga menjadi lebih relevan dan legitimate (syah) sejak “Washington Consensus”. Selanjutnya Paul Ormerod (The Death of Economics, 1992) menya­takan ilmu ekonomi Neoklasik ortodoks harus dianggap sudah mati, dan Steve Keen “mene­lanjanginya” dalam Debunking Economics (2001).

Di Indonesia perlawanan terhadap teori ekonomi Neoklasik dimulai tahun 1979 dalam bentuk konsep Ekonomi Pancasila, tetapi karena pemerintah Orde Baru yang di­dukung para teknokrat (ekonomi) dan militer begitu kuat, maka konsep Ekonomi Pancasila yang dituduh berbau komunis lalu dengan mudah dijadikan musuh pemerintah, dan ma­syarakat seperti biasa mengikuti “arahan” pemerintah agar konsep Ekonomi Pancasila ditolak. Namun reformasi 1997-98 menyadarkan bangsa Indonesia bahwa para­digma ekonomi selama Orde Baru memang keliru karena tidak bersifat kerakyatan, dan jelas-jelas berpihak pada kepentingan konglomerat yang bersekongkol dengan pemerintah. Maka munculah gerakan ekonomi kerakyatan yang sebenarnya tidak lain dari sub-sistem Ekonomi Pancasila, tetapi karena kata Pancasila telah banyak disalahgunakan Orde Baru, orang cenderung alergi dan menghindarinya. Jika Ekonomi Pancasila mencakup 5 sila (bermoral, manusiawi, nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial), maka ekonomi kerak­yatan me­nekankan pada sila ke-4 saja yang memang telah paling banyak dilanggar selama periode Orde Baru.

UGM telah memutuskan membuka Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) untuk meng­hidupkan kembali tekadnya mengembangkan sistem Ekonomi Panca­sila yang berawal pada tahun 1981 ketika Fakultas Ekonomi UGM mencuatkan dan menggerakkan pemikiran-pemikiran mendasar tentang moral dan sistem ekonomi Indonesia. Pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila dimaksudkan untuk benar-benar mengkaji dasar-dasar moral, ilmu, dan sistem ekonomi yang sesuai dengan ideologi Pancasila, karena UGM sudah lama dikenal sebagai pengembang gagasan Pancasila dan sudah memiliki Pusat Studi Pancasila.

Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Pemihakan dan perlindungan ditujukan pada ekonomi rakyat yang sejak zaman penjajahan sampai 57 tahun Indonesia merdeka selalu terpinggirkan. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.

Moral Pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial mencakup:

1. peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab;

2. penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi;

3. pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural.

4. pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial;

5. penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat;

6. pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.

Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksana­kan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.

Kesimpulan

Globalisasi bukan momok tetapi merupakan kekuatan serakah dari sistem kapitalisme-liberalisme yang harus dilawan dengan kekuatan ekonomi-politik nasional yang didasarkan pada ekonomi rakyat. Semasa krismon kekuatan ekonomi rakyat telah terbukti mampu bertahan. Ekonomi rakyat benar-benar tahan banting. Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) 3 (Juni – Desember 2000) membuktikan hal itu dengan menunjukkan 70% rumah tangga meningkat standar hidupnya. Krismon memang lebih menerpa orang-orang kota dan menguntungkan orang-orang desa. Bagi kebanyakan orang desa tidak ada krisis ekonomi. Kesan krisis ekonomi memang dibesar-besarkan oleh mereka yang tidak lagi mampu “berburu rente” (rent seekers) yang bermimpi masih dapat kembalinya sistem ekonomi “persaingan monopolistik” yang lebih menguntungkan sekelompok kecil orang/pengusaha kaya tetapi merugikan sebagian besar golongan kecil ekonomi rakyat.

THE PRODUCTIVE SCHOOL

(SEKOLAH YANG PRODUKTIF)

A System Analysis Approach to Educational Administration

Penulis : J. Alan Thomas

Dirangkum : Falah Yunus

I. PENDAHULUAN

Dimasa yang akan datang tantangan bagi penyelenggaraan sistem pendidikan akan semakin sulit. Dimana mereka harus bisa membuat lembaga mereka diminati oleh publik. Dari banyaknya lembaga pendidikan yang ada, mereka pasti memiliki lembaga pendidikan yang kualitasnya baik. Aspek kualitas itu dilihat dari mata pelajaran yang dibuat sesuai dengan tuntutan kebutuhan dimasyarakat.

Untuk itu para pembaharu pendidikan harus memahami lembaga dan cara mengoperasikannya. Ini tidak dimaksudkan pada orientasi kepemimpinan tapi lebih ditekankan pada pentingnya memahami aspek sejarah, sosiologi dan ekonomi dari sekolah atau universitas. Sebagai contoh, dengan membuka wawasan tentang pentingnya organisasi yang informal dan perbedaan antara fungsi nyata dan fungsi yang belum terlihat, sosiologi membuka wawasan yang penting bagi suksesnya perubahan orientasi kepemimpinan. Disamping itu tim pengajar, kelas yang tidak dikelompokkan, dan program anggaran adalah contoh prosedur yang dikemas untuk implementasi yang mudah. Analisa biaya dan keuntungan dari inovasi ini adalah elemen yang penting dalam kesuksesan.

Buku ini menghadirkan beberapa konsep dasar untuk dimanfaatkan dalam membuat keputusan . Konsep yang utama adalah produktivitas atau hubungan antara hasil pendidikan dan sumber daya manusia dan materi yang menyelesaikan pendidikan.

Ada kesamaan antara ide-ide yang dikemukakan dalam buku ini. Raymond E. Callahan dalam bukunya ‘Education and the Cult of Efficiency’ menyatakan bahwa kritik biaya sekolah yang disengaja telah berhasil membuat administrasi sekolah mengimplementasikan bermacam-macam cara, termasuk analisa biaya dan dan luasnye penggunaan uji prestasi. Buku ini juga berusaha untuk memecahkan masalah dengan mengembangkan model analisa yang lebih spesifik pada pendidikan, dan ditekankan pada hasil yang sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.

II. HASIL DARI PENDIDIKAN

Tugas utama penyelenggaraan pendidikan adalah menciptakan dan melaksanakan sistem yang produktif. Ini artinya ia harus mengerahkan kekuatannya untuk mencapai tujuan dari sistem sebisa mungkin.

Sistem adalah serangkaian kegiatan yang saling berhubungan. Sistem buatan manusia direncanakan untuk mencapai tujuan atau serangkaian tujuan. Sistem pendidikan terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan yaitu manusia, bangunan, buku-buku dan peralatan dan dikonstruksi untuk memberikan perubahan yang diinginkan pada sikap klien. Sistem yang paling sering digunakan adalah sistem terbuka. Sistem terbuka mendapat dukungan dari lingkungan dan memberikan hasil yang berguna bagi sekitarnya. Ada beberapa sistem yang kompleks dimana sistem itu dapat dipelajari melalui analisa input-output. Analisa input-output sangat dibutuhkan pada sistem sosial yang disebut organisasi. Sebagai contoh output yang diterima oleh pekerja berupa finansial, sedangkan pada sekolah output berupa kemampuan siswa untuk menikmati dan menghargai hidup. Sebuah organisasi yang produktif adalah merupakan salah satu yang menggunakan keseimbangan menguntungkan dari output ke input. Hubungan matematis antara input dan output dapat dinyatakan sebagai penerimaan yang disebut fungsi hasil.

Ada 3 tujuan konsep fungsi hasil :

  1. Mempertahankan rasio murid, kelas, buku, dan guru dan memberikan perhatian pada metode lain dalam mengalokasikan sumber daya.
  2. Sebagai dasar matematis dalam membuat keputusan
  3. Sebagai dasar konseptual dalam praktik anggaran, yang sangat berguna bagi program anggaran

Fungsi Hasil

Fungsi hasil dibedakan berdasarkan cara input dan output didefinisikan, dan disebut berdasarkan pemakai yaitu penyelenggara administrasi, psikologi, dan pakar ekonomi.

  1. Fungsi hasil penyelenggara administrasi (PF1)

Analisa berdasarkan fungsi hasil ini tidak menyatakan perhitungan matematis atau statistik. Perhitungan biaya yang diberikan adalah prosedur akuntansi. Jadi semua keputusan berdasar pada biaya yang disediakan, data biaya berhubungan dengan data lain, termasuk timbal balik dari ouput.

  1. Fungsi Hasil Psikolog (PF2)

Metodologi dasar pada fungsi hasil ini adalah analisa statistik yang bervariasi. Kesulitan utama pada analisa ini adalah mengidentifikasi desain dari Kershaw dan Mc. Kean, yaitu :

Pengaruh sekolah dan lingkungan pada pembelajaran

Problem utama dan analisa sistem adalah menentukan sifat interaksi antara pengaruh pada prestasi sekolah dan latar belakang anak.

Ada 3 model untuk menganalisis masalah yaitu :

1. model tambahan. Menurut model ini pengaruh lingkungan dan sekolah terpisah tapi ditambahkan. Tantangan model ini adalah memisahkan sekolah dari pengaruh masyarakat.

2. model sistem terbuka. Model ini lebih realistis menganggap lingkungan sebagai pengaruh sifat dari input sistem sekolah.

3. model interaktif. Model ini memperkenalkan interaksi antara sekolah, rumah dan masyarakat dan hubungan antara interaksi ini dengan kualitas output.

  1. Fungsi Hasil Ahli Ekonomi (PF3)

Ahli ekonomi melihat pendidikan sebagai kontribusi individu dengan kemampuan ekonomi. Pada fungsi hasil ini, output merupakan penghasilan tambahan yang dihasilkan dari tambahan pendidikan di sekolah dimana input dibandingkan dengan biaya tambahan itu.

Prosedur yang digunakan dalam menganalisa biaya dan keuntungan yaitu :

  1. Analisa nilai

Biaya dan keuntungan dari pendidikan, keduanya diadakan selama periode setahun. Keuntungan yang didapat adalah hasil dari tambahan kegiatan sekolah yang mereka terima. Analisa nilai saat ini terdiri dari penggunaan bunga yang berlipat ganda dan melipatgandakan prosedur diskon untuk meredam arus biaya dan arus pendapatan pada nilai yang diberikan pada tahun dasar.

  1. Analisa kembalinya modal

Kembalinya modal dalam investasi didefinisikan sebagaimana tarif yang disamakan dengan nilai investasi saat ini menjadi nol.

III. ANALISA BIAYA

Salah satu dari kontribusi ekonomi yang terpenting bagi administrasi pendidikan adalah konsep umum biaya. Praktik yang biasa dalam pendidikan adalah menghargai biaya sama dengan pengeluaran. Biaya yang diambil termasuk biya moneter digolongkan dengan pembelian dari faktor input, seperti gaji guru dan penyelenggaraan administrasi, buku-buku dan material, peralatan, gedung tanah dan bis sekolah. Pembiyaan ini mencakup konsep biaya kesempatan. Pertama, konsep biaya kesempatan terfokus pada pentingnya waktu siswa. Kedua, ditekankan pada sistem insentif yang digunakan untuk mendorong guru dan penyelenggara administrasi untuk meningkatkan kualifikasi mereka.

Kategori Biaya Pendidikan :

  1. Biaya langsung dan tidak langsung

Di luar negeri, semua biaya adalah biaya kesempatan. Perbedaannya biaya langsung adalah biaya yang tidak diminta dalam bentuk uang. Biaya langsung meliputi upah guru, penyelenggaran administrasi, konselor dan penjaga sekolah serta pembelian peralatan. Material, tanah dan bangunan. Biaya langsung biasanya meliputi turunnya nilai dan usangnya gedung.

  1. Biaya sosial dan pribadi

Biaya pribadi dikurangi jika ada kontribusi masyarakat yang mendukung sekolah. Dukungan masyarakat berupa uang yang dikumpulkan melalui pajak, hadiah dan sumbangan.

  1. Biaya moneter dan non moneter

Biaya moneter bisa langsung atau tidak langsung dan bisa juga dibayar oleh masyarakat atau individu. Pembayaran ongkos sekolah merupakan biaya moneter langsung dari siswa dan orang tuanya. Sementara pendapatan terdahulu merupakan biaya moneter tidak langsung.

Analisa Biaya Keseluruhan

Para pakar ekonomi dan pendidik telah menguji total biaya nasional dari pendidikan. Pakar ekonomi lebih tertarik pada hubungan antara biaya pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, sedangkan pendidikan disibukkan dengan masalah menyediakan sumber daya yang cukup untuk mengoperasikan sekolah .

Beberapa contoh analisa keseluruhan :

  1. Unsur-unsur biaya pendidikan

· Tipe biaya yaitu biaya instruksional dan administratif, biaya operasional dan pemeliharaan gedung sekolah

· Biaya tak langsung berua penyediaan fasilitas

· Bunga

  1. Biaya tak langsung
  2. Mikroanalisa biaya

Perbedaan antara pakar ekonomi dan pendidik dimana pakar ekonomi cenderung pada keuntungan, sedangkan pendidik tertarik pada biaya yang mempengaruhi keputusan.

Elemen Unit Biaya

  1. Waktu pengajar. Kita harus membayar mereka yang jika menggantikan tugas guru lain.
  2. waktu penyelenggara administrasi. Salah satu fungsi penting mereka adalah memajukan kwalitas layanan pendidikan jadi harus diperhatikan kesejahteraannya.
  3. Jangka waktu . Ada 5 komponen jangka waktu pembayaran yaitu : 1) bunga pada hutang tak terbayar, 2) biaya ekonomi yang wajar, 3) penurunan nilai bangunan, 4) berhubungan dengan listrik, 5) biaya pemeliharaan.

IV. PENDEKATAN TEORETIS PADA ALOKASI SUMBER DAYA

Dalam bab ini kita menggunakan fungsi hasil psikolog untuk mengembangkan beberapa pendekatan pada alokasi sumber daya pada sistem pendidikan. Tujuannya adalah untuk memajukan perkembangan ilmu manajemen pendidikan. Pencapaian tujuan ini didasarkan pada analisa input dan output pendidikan dan hubungan antara keduanya. Output dianalogikan sebagai pendekatan nilai tambah yang digunakan oleh dunia bisnis. Dalam industri, nilai tambah adalah pertambahan nilai sebuah produksi dalam tiap tahap proses perakitan. Nilai tambah adalah ukuran ouput yang cocok, karena mempertimbangkan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, nilai tambah didefinisikan sebagai jumlah penambahan belajar yang diletakkan disetiap tahap proses. Jika pembelajaran didefinisikan sebagai penguasaan ketrampilan, pengetahuan atau pemahaman maka nilai tambah adalah jumlah unit yang disyaratkan di setiap tahap.

Jika pembelajaran disusun terus menerus, meliputi perpaduan dan penyatuan mata pelajaran, maka nilai tambah adalah perbedan antara tingkat pemahaman yang dicapai disetiap tahap yang diberikan.

Prosedur ini dapat diterapkan untuk siswa secara individual.

Asumsi 1 dan 2

Analisa ini berdasarkan asumsi bahwa : 1) unjuk kerja dapat diukur, dan 2) prosedur pengukuran dikembangkan para psikolog yang bekerja di dunia pendidikan cukup memadai.

Asumsi ini tentunya penting agar kita berhasil. Ini berdasarkan fakta kewenangan dalam pengukuran pendidikan yang memberikan perhatian yang baik pada masalah yang implisist dalam mengukur unjuk kerja dan peningkatan unjuk kerja.

Asumsi 3

Adanya fungsi hasil yang menghubungkan output (peningkatan unjuk kerja) dengan input (waktu siswa, guru, peralatan termasuk material, buku dan jangka waktu). Dari sudut pandang secara psikologi, totalitas input adalah lingkungan dimana seseorang anak diekspos. Praktik pendidikan didasarkan pada fungsi hasil yang terkandung, mewakili pengaruh kekuatan kerja di sekolah.

Asumsi 4

Semua adalah sama, peningkatan pada waktu siswa dan waktu guru dihubungkan dengan peningkatan unjuk kerja. Ini diasumsikan bahwa jika jumlah waktu siswa lebih banyak dicurahkan, artinya tidak ada penurunan motivasi atau faktor lain yang berhubungan dengan pembelajaran, sehingga unjuk kerja menjadi meningkat.

Analisa Marginal

Inti dari analisa ini adalah studi tentang pengaruh perubahan kecil pada variabel tak terikat (input) pada variabel terikat (output). Perubahan ini disebut perubahan marginal, sehingga analisa ini disebut analisa marginal.

Pada tahap pertama analisa, konsentrasikan pada variabel X1 (waktu guru) dan X2 (waktu siswa). Alokasi waktu siswa dan guru adalah tugas kepala sekolah yang terpenting, prosesnya adalah sebagai berikut :

  1. Kurikulum dipisah menurut daerah mata pelajaran
  2. Dalam setiap daerah, waktu untuk guru spesialis dan personil pendukung dan waktu untuk siswa dialokasikan.

Contoh-contoh :

  1. Waktu untuk guru

Misalnya kita mempunyai 1000 siswa terdaftar untuk pelajaran biologi. Jika satu guru dibayar, dia akan bekerja keras sehingga belajar siswa di kelas biologi dibatasi. Guru kedua yang mempunyai kualitas kerja sama akan memberikan lebihnya, begitu seterusnya.

  1. Waktu untuk siswa

Jika siswa menghabiskan banyak waktu untuk belajar, unjuk kerja menunjukkan hasil penambahan alokasi waktu yang secara berkala berkurang. Hubungan antara waktu siswa dan pembelajaran bisa berupa bentuk :1) panjangnya pelajaran untuk siswa dengan karakteristik tertentu, 2) jumah menit per minggu berhubungan dengan jumlah pembelajaran yang diadakan, 3) jumlah minggu dari matapelajaran yang dipelajari pada tahun ajaran.

  1. Peralatan

Pertimbangan penambahan OHP untuk mendukung pembelajaran siswa di kelas biologi tersebut menjadi lebih efektif. Kemudian penambahan buku-buku perpustakaan juga penting.

Diskusi di atas menggambarkan dasar teoretis mengalokasikan sumber daya, agar mendapatkan tujuan pendidikan yang kita harapkan. Alokasi sumber daya yang ada pada alternatif output, sehingga hasil marginal (penghasilan tambahan untuk masyarakat) per rupiah dibelanjakan sama untuk setiap tipe output.

V. PENDEKATAN UNTUK MEMBUAT KEPUTUSAN

Penyelenggaraan pendidikan yang efektif dapat mendefinisikan masalah , mengumpulkan data yang relevan, dan mengolah data untuk memecahkan masalah. Dia bisa mengenali alternatif kemungkinan dan memilih yang terbaik.

Tapi pembuat keputusan yang cakap tidak bekerja sendirian. Pegawai yang pengetahuannya berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi dilibatkan dalam membuat keputusan. Bab ini menggambarkan beberapa model dalam membuat keputusan. Dimulai dengan diskusi input-output, keefektifan biaya, dan model biaya keuntungan. Kemudian bab ini juga mendiskusikan kemungkinan penggunaan model dan model timbal balik dalam membuat keputusan.

  1. Model Input-output

Proseduar keputusan berdasarkan studi input-output meliputi beberapa langkah :

    1. Kalkulasikan kemunduran persamaan berdasarkan pada mengukur input dan output pada populasi sistem sekolah
    2. Pelajari koefisien kemunduran, dan catat pengaruh perlakukan pada subyek untuk mengontrol pembuat kebijakan
    3. Ujilah biaya kombinasi alternatif dari input yang berhubungan dengan biaya untuk memprediksi pengaruh
    4. Implementasikan alternatif yang mempunyai hubungan prediksi output-input. Amati hasil dariimplementasi itu.
  1. Analisa keefektifan biaya

Analisa keefektifan biaya sangat cocok untuk masalah dimana sistem output tidak dihargai dipasaran, sementara input adalah subyek dari penghargaan pasar.

Prosedur dalam analisa keefektifan biaya terdiri dari 5 element :

    1. Tujuan analisa keefektifan biaya didesain untuk memfasilitasi pencapaian tujuan tertentu.
    2. Alternatif identifikasi alternatif yang relevan
    3. Biaya
    4. Model. Tujuan model adalah untuk memperkirakan biaya yang dipadukan dengan setiap alternatif.
    5. Aturan keputusan. Aturan keputusan adalah prosedur dimana pilihan diizinkan untuk dibuat diantara alternatif yang berdasar pada biaya dan keefektifan dari masing-masing.
  1. Model Biaya-keuntungan

Tujuannya adalah membedakan antara nilai keuntungan saat ini dan nilai biaya saat ini atau kembalinya modal.

Aturan keputusannya adalah sebagai berikut :

a. Jika kembalinya modal lebih besar dari modal ekonomi yang tersisa, masyarakat harus menambah pembiayaannya untuk pendidikan

b. Jika kembalinya modal lebih besar untuk satu level pendidikan, sumber daya harus dialokasikan ulang

c. Investasi dalam program pekerjaan yang berhubungan seperti pendidikan kejuruan adalah pelatihan program tenaga kerja harus ditentukan oleh nilai pendapatan saat ini dan biaya yang dihasilkan program ini

d. Perorangan harus menanamkan pembiayaan pendidikan bila kondisi nilai pendapatan tambahan saat ini yang didapat lebih besar dari nilai biaya saat ini.

Program Linear

Diskusi tentang analisa biaya-keuntungan untuk membuat keputusan kurang lengkap tanpa adanya program linear.

  1. Penentuan produk optimal dan proses produksi
  2. Penyelesaian rute transportasi
  3. Menentukan kombinasi biaya terendah untuk memberikan produk yang sesuai spesifikasi

Aspek ekonomi dalam memutuskan kurikulum

    1. Biaya. Program pendidikan kejuruaan lebih memakan biaya daripada program sekolah umum
    2. Keuntungan

Model Timbal Balik

Sistem terbuka diandalkan dalam mekanisme timbal balik untuk mengubah lingkungan. Lingkungan sistem pendidikan selalu berubah. Bagian terpenting dari sistem timbal balik adalah sebagai berikut : 1) prosedur mengukur output pada berbagai tahap, 2) prosedur menyusun penemuan dan membandingkan dengan tingkat unjuk kerja yang diinginkan, 3) prosedur selama menggunakan perbedaan antara unjuk kerja yang aktual dan yang diinginkan.

Sistem Informasi

Kebutuhan akan informasi adalah aspek penting dari teori sistem terbuka. Sistem berada dalam interaksi yang tetap dengan lingkungan tipe-tipe sistem informasi .

  1. Perwakilan negara

Perwakilan negara mempunyai tanggung jawab yang sah pada sistem pendidikan. Sebagai contoh :

    1. Input guru. Data berdasarkan studi negara tentang hubungan kualifikasi guru, gaji guru dan hasil pendidikan.
    2. Pertumbuhan sekolah. Perwakilan negara juga bertanggungjawab untuk supervisi fasilitas sekolah dan keamanan
    3. Input lain berupa televisi pendidikan dan laboratorium bahasa
    4. Input siswa. Negara menyediakan kesempatan pendidikan yang cocok untuk semua siswa.
  1. Perwakilan lokal/daerah
    1. Data input. Spesifikasi data input siswa akan diperlukan ditingkat daerah, termasuk informasi tentang pengaruh pendidikan siswa di rumah
    2. Data output. Pencapaian dan studi pengadaan sangat penting pada tingkat ini.

VI. ALOKASI DAN ANGGRAN BELANJA

Ada dua kenyataan yag memotivasi analisa ini. Pertama, pendidikan adalah komoditi yang bernilai dimasyarakat kita. Kedua, permintaan akan pendidikan sangat tinggi.

Alokasi dan analisa Input-Output

Ciri-ciri prosedur pengalokasian :

  1. Bukti berdasarkan satu studi yang mewakili semuanya
  2. Tujuan studi Input-Output adalah untuk mendapatkan perkiraan pengaruh marginal dan penambahan variabel input.

Kontribusi penting pada studi pendidikan ditekankan para pakar ekonomi pada nilai waktu siswa.

Dokumen Anggaran

Anggaran pendidikan adalah pernyataan dari kuitansi yang direncanakan dan pengeluaran. Diklasifikasikan dalam cara menambah tingkat dimana dokumen dapat dipahami orang dalam maupun luar dari sistem. Pada dokumen akhir pendapatan dan pengeluaran harus seimbang. Rangkaian keputusan yang terkandung adalah sebagai berikut : 1) penyelesaian program yang ditawarkan, 2) penggunaan koefisien input untuk menentukan persyaratan sunber daya seperti guru dan lain-lain, 3) deskripsi sumber pendapatan.

Setiap dokumen anggaran berdasarkan sistem klasifikasi pengeluaran, dengan memenuhi kriteria sebagai berikut : 1) harus meningkatkan kegunaan anggaran sebagai alat kontrol perizinan selama pengalokasian keputusan, 2) harus memfasilitasi rasionalitas keputusan anggaran, 3) mengizinkan dokumen anggaran untuk lebih mudah dipahami oleh orang awam maupun profesional.

Ada 4 tipe skema klasifikasi yaitu :

  1. Anggaran macam barang

Anggaran macam barang yang harus dibeli dirinci dengan baik beserta harga masing-masing

  1. Anggaran Unit Organisasi

Sejak negara dan pemerintah daerah memiliki tujuan pendidikan yang berbeda maka masing-masing memiliki anggaran sendiri.

  1. Anggaran berdasar kategori fungsional

Berikut ini adalah kategori utama dari anggaran pendidikan : administrasi, instruksi, kehadiran dan layanan kesehatan, layanan transportasi siswa, pengadaan dan pemeliharaan tanaman, ongkos perbaikan, layanan makanan dan aktifitas tubuh siswa, layanan masyarakat, pengeluaran modal dan layanan pinjaman dari dana sekarang.

  1. Anggaran program atau unjuk kerja

Ada beberapa karakteristik program anggaran ini yaitu :

    1. mendata layanan yang harus diberikan atau tujuan yang ingin dicapai
    2. Dimana ada kemungkinan, sumber daya dialokasikan agar tujuan bisa dimaksimalkan
    3. Harus memasukkan prosedur untuk mengevaluasi tingkat tujuan untuk satu tahun atau lebih
    4. Harus memasukkan identifikasi metoda alternatif untuk mencapai tujuan
    5. Mengharuskan pengembangan dan menggunakan sistem informasi yang lengkap
    6. Penggunaan program anggaran tidak mengurangi kebutuhan untuk anggaran lain

Judul Asli :

The Productive School

A System Analysis Aproach to Educational Administration

Penulis : J. Alan Thomas

Copyright © 1971 by John Wiley & Sons, Inc.

NILAI EKONOMI DARI PENDIDIKAN

Pendidikan sebagai Investasi

Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah pembangunan.

Opini yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan pembangunan disegala sektor.

Ketidakyakinan ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap buang-buang uang yang tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran sektor pendidikanpun biasanya sisa setelah yang lain terlebih dahulu.

Cara pandangan ini sekarang sudah mulai tergusur sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor.

Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.

Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan eletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.

Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.

Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.

Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.

Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan oertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Besker (1964, 1975,1993) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.

Kritik Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis baha pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).

Beberapa penelitin neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.

Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.

Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Nilai Balikan Pendidikan

Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).

Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain

Juga telah digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development Report, 1980).

Peranan wanita dalam mengasung dan membesarkan anak begitu pending sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti. Studi-studi menunjukan adanya orelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.

Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 persen.

Berbagai penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya. Jadi kalau kita mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak menjadikan modal manusia (sektor pendidikan) sebagai prasyarat utama, maka sama dengan “si pungguk merindukan bulan”.

Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Menurut Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas, pada ceramahnya di depan Mahasiswa Pasca UPI Prodi Administrasi Pendidikan, mengemukakan bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi dibidang pendidikan di Indonesia antara lain :

1. Tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah

2. Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan

3. Kesenjangan tingkat pendidikan

4. Good Governance yang belum berjalan secara optimal

5. Fasilitas pelayanan pendidikan yang belum memadai dan merata

6. Kualitas pendidikan relatif rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik

7. Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan IPTEK

8. Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien

9. Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai.

Permasalahan tersebut diatas merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi, maka akan memberikan kontribusi terhadap peranan pemerintah dan masyarakat terhadap dampak yang akand ialami negara Indonesia dalam jangka panjang kedepan dengan kebijakan pembangunan pendidikan sebagai dasar pembangunan negara.

Dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009, peningkatan peran pendidikan ditekankan pada upaya : 1. Perluasan dan Pemerataan Pendidikan 2. Mutu dan Relevansi Pendidikan dan 3. Governance dan Akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan upaya untuk pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga ketinggalan dibindang peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan sehingga tidak tertinggal dengan kemajuan diantara negara-negara Asia Pasifik.

Nilai Ekonomi Pendidikan

Menurut Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga”, kata peraih Nobel Ekonomi, seperti muat pada harian Kompas (15/12/2004). Pertanyaan ini dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan ekonomi seperti apa yang iperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan neoliberal yang dianut Indonesia.

Peranan pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang legendaris itu.

Dalam studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar negara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.

Namun, sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara bekembang sebenarnya mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960-1990. Easterly (2001) menunjukkan bahwa median angka partisipasi sekolah dasar meningkat dari 88 persen menjadi 90 persen, sementara untuk sekolah menengah dari 13 persen menjadi 45 persen. Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di dunia yang angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun 1990 menjadi lebih dari separuhnya.

Nyatanya, kenaikan dari tingkat pendidikan di negara-negara berkambang tidak menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika. Antara tahun 1960 hingga tahun 1985 pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4 persen per tahun. Nyatanya, ekonomi negara-negara di Afrika hanya tumbuh 0,5 persen per tahun. Itu pun karena ada “keajaiban ekonomi” di Afrika, yaitu Botswana dan Lesotho.

Kebanyakan negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode tersebut. Kasus ekstrem dialami Senegal yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8 persen per tahun, tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif.

Dalam periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angka partisipasi sekolah. Namun, perbedaan keduanya tidak banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan dengan 2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah rahasia untuk pertumbuhan ekonomi, perbedaan itu seharusnya jauh lebih besar.

Selain tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga tidak berhasil menjelaskan fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antar negara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi stndar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, disaat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan per kapita antar negara meningkat dari 0,93 menjadi 1,13.

Asumsi darsar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat.

Disisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.

Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan danpemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.

Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini.

Dalam studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.

Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, seringkali produktivitas lebih ditentukan oleh pengaaman, bukan pendidikan. Bagi petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.

Orang bisa mendebat baik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Dibanyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.

Intervensi Ekonomi Secara Spesifik Pada Pendidikan

Pendapat yang mengataan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak bermanfaat bagi kemakmuran sebuah negara. Ini adalah pendapat sama sekali tidak berdasar secara impiris. Pesan yang ingin disampaikan adalah ada banyak hal lain yang menyebabkan kontribusi positif pendidikan tidak teralu besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra ajaib. Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus dilakukan secara hati-hati.

Bentuk kehati-hatian adalah tidak terjeba untuk mengukut peranan pemerintah dari besarnya alokasi anggaran pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan pada seberapa besar, melainkan direncanakan digunakan untuk apa, mengapa dan bagaimana. Di beberapa negara Asia yang sedang berkembang meski kebanyakan guru dibayar terlalu murah, dari hasil studi ADB menyatakan bahwa tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar terhadap peningkatan mutu pendidikan.

Dalam hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) menulis bahwa di Indonesia pada 1980-1990-an dalam laporan World Bank subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi menyebabkan oefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan perguruan tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu.

Selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar pendanaan. Disini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh kuranynya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian bat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan disana.

Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diteraka secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal ini yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.

Menurut Mohamad Ali (2005), dikemukakan Malaysia mengalami kemajuan yang tinggi di pengembangan SDM, karena pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad, telah mencanangkan pengembangan SDM kedepan dengan melakukan investasi yang cukup tinggi yaitu 28 persen dari anggaran belanja negaranya, dan pemerintahan PM Mahathir yang berjalan selama 17 tahun. Melihat keberhasilan tersebut, maka negara Indonesia dengan UUD 1945 yang telah diamandemen memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran belanja negara seperti tertuang pada pasal 31 Ayat 4.

Investasi dibidang pengembangan SDM merupakan suatu proses yang panjang dan untuk menunjang keberhasilan perencanaan tersebut, pendidikan dan pelathan harus dijadikan suatu tolok ukur untuk membangun suatu negara. Tetapi pendidikan diibaratkan sebagai suatu kereta yang ditarik kuda, artinya keberhasilan proses pendidikan merupakan kontribusi dari lintas sektoral yaitu tenaga kerja, industri ekonomi, budaya dan lain sebagainya.

Daftar rujukan

Becker G.S. 1993. Human Capital, A theoritical and Empirical Analysis with Speccial reference to Education. Chicago, University of Chicago P ress

Cohn. Elchanan, 1979. The Economics Of Education, Ballinger Publishing

Engkoswara. 2002. Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan. Bandung, Yayasan Amal Keluarga

Dodi Nandika. 2005. Kebijakan Pembangunan Pendidikan 2005-2009. Bandung UPI.

Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.Rosda. Bandung

Jac Fitz-enz, 2000.The ROI of Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance, New York, Amacom

Joseph Stiglitz, 2004. Economy Growth and Education Policy, Jakarta. Kompas 15-12-2004