Tuesday, 2 October 2007

jenis-jenis validitas

Macam-Macam Validitas Instrumen


Pada umumnya para ahli pengukuran, khususnya pengukuran dalam bidang psikologi dan pendidikan, menggolongkan validitas menjadi beberapa tipe, yaitu:
Validitas konstruk (construct validity),
Validitas isi (content validity), dan
Validitas kriterion (kriterion-related validity).
(Kerlinger, 2000:686; Babbie, 2004:144-145).
Untuk validitas konstruk dan validitas isi, kriteria yang digunakan dalam pengambilan keputusan, dilakukan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan logis, konseptual, dan menggunakan dasar-dasar penalaran tertentu, tanpa harus melakukan uji empiris atau uji lapangan. Sebaliknya, pada validitas kriterion, proses validasinya dilakukan melalui pengujian empiris atau uji lapangan, yaitu dengan jalan mengkorelasikan hasil pengukuran dari instrumen yang kita susun dengan suatu kriterium yang dipandang valid. Bila peneliti memilih tipe validitas korelasional, maka pengambilan keputusan untuk menyatakan apakah instrumen tersebut valid atau tidak, dilakukan dengan menghitung korelasi dengan menggunakan taraf siginifikansi 0,05. Ada dua tipe dari validitas korelasional ini, yaitu validitas konkuren (concurrent validity), dan validitas prediktif (predictive validity).
a. Validitas konstruk
Validitas konstruk berhubungan dengan pertanyaan: seberapa jauh instrumen yang kita susun mampu menghasilkan butir-butir pertanyaan yang telah dilandasi oleh konsep teoritik tertentu. Validitas konstruk disusun dengan mendasarkan diri pada pertimbangan-pertimbangan rasional dan konseptual yang didukung oleh teori yang sudah mapan. Proses menentukan validitas bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Untuk dapat menyusun validitas konstruk, peneliti harus menguasai secara mendalam teori-teori yang relevan, ditambah dengan pengalaman menyusun instrumen, konsultasi dengan ahli di bidangnya, dan diskusi dengan teman sejawat (peers). Oleh karena itu untuk memantapkan validitas konstruk ini, peneliti dianjurkan untuk memperoleh masukan berupa penilaian, pertimbangan dan kritik-kritik dari para ahli dalam bidang yang terkait. Prosedur seperti itu dikenal dengan apa yang disebut dengan expert judgment.
Langkah-langkah yang ditempuh untuk memperoleh suatu konstruk yang diharapkan, biasanya melalui prosedur sebagai berikut:
1. melakukan analisis logik, dan
2. melakukan analisis hubungan dan atau perbedaan dengan konstruk lain.
Analisis logic dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Peneliti membuat definisi operasional mengenai konstruk atau konsep yang dimaksud dengan berlandaskan diri pada teori-teori yang relevan;
2. Peneliti melakukan justifikasi mengenai suatu konstruk yang diperkirakan dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai suatu konstruk atau konsep yang dimaksud. Dalam hal ini penyusun instrumen dapat menganut salah satu teori atau melakukan suatu sintesa, atau memodifikasi teori yang ada yang dianggap relevan;
3. Operasionalisasikan konstruk yang secara konseptual telah mantap ke dalam indikator-indikator, bahkan sampai ke dalam sub indikator (prediktoi), sehingga perilaku atau gejalanya dapat diukur dan diamati;
4. Lakukan check-recheck untuk meyakinkan bahwa apa yang telah dirumuskan tersebut benar-benar telah menggambarkan konstruk yang dimaksud.
Analisis hubungan dan atau analisis perbedaan dilakukan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Kumpulkan konstruk atau konsep-konsep lain yang sama atau serupa dengan konsep yang kita maksudkan. Di samping mengumpulkan konsep-konsep yang sama, juga kumpulkan konsep-konsep lain yang berbeda. Mencari konsep-konsep yang sama atau berbeda tersebut dimaksudkan agar diperoleh keyakinan yang kuat dan mendalam bahwa konsep atau konstruk yang dimaksudkan secara teoritik dan logik benar.
2. Suatu konstruk yang semula telah dianggap benar, akan tetapi apabila dikemudian hari diperoleh informasi baru, baik informasi baru tersebut berasal dari teori dan atau yang berasal dari sejawat atau ahli yang relevan, peneliti harus siap melakukan modifikasi secukupnya;
3. Kumpulkan bukti-bukti dari sumber lain yang dipandang dapat mendukung konstruk yang dimaksud, misalnya hasil pengukuran dengan instumen yang sejenis mengenai objek, gejala, atau perilaku yang serupa, merupakan sumber yang sangat berharga untuk dipertimbangkan.
Validitas Isi
Validitas isi berhubungan dengan kemampuan instrumen untuk menggambarkan atau melukiskan secara tepat mengenai domain perilaku yang akan diukur. Misalnya instrumen yang dibuat untuk mengukur kinerja karyawan, maka instrumen tersebut harus dapat melukiskan secara benar mengenai kinerja karyawan sebagaimana diuraikan dalam deskripsi tugas-tugas karyawan. Contoh lain lagi misalnya instrumen yang disiapkan untuk mengukur prestasi belajar siswa, maka instrumen tersebut harus dapat melukiskan dengan benar prestasi belajar siswa sesuai dengan standar prestasi sesuai dengan materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa. Kalau pada instrumen kinerja peneliti melakukan analisis kinerja sebagaimana yang ditetapkan dalam deskripsi tugas (job description), maka pada instrumen untuk mengukur prestasi belajar, peneliti harus melakukan analisis materi pelajaran, mulai dari pembagian bab per bab, sampai pada uraian setiap pokok bahasan.
Ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam memaknai validitas isi, yaitu:
1. menyangkut validitas butir, dan
2. menyangkut validitas sampling.
Validitas butir berhubungan dengan pertanyaan: seberapa jauh butir-butir instrumen dapat mencerminkan keseluruhan isi dari aspek atau domain yang hendak diukur. Validitas sampling dihadapkan pada pertanyaan: seberapa jauh butir-butir instrumen tersebut merupakan sampel yang representatif dari keseluruhan aspek atau bahan atau domain yang diukur.
Dengan memaknai komponen-komponen tersebut (butir dan sampling), penyusun instrumen sebelum menyajikan butir-butir pertanyaan, terlebih dahulu ia harus menyusun daftar yang memuat keseluruhan isi dari materi atau domain yang dimaksud. Keseluruhan domain tersebut dijabarkan ke dalam aspek-aspek yang yang lebih terperinci, kemudian dideskripsikan indikator-indikatornya, sampai ke sub-sub indikator, sehingga gejalanya dapat diukur dan diamati. Selanjutnya untuk lebih meyakinkan diri tentang semua yang telah dilakukan tersebut, penyusun instrumen dapat meminta pertimbangan dari kolegia atau ahli yang kompeten melalui forum diskusi antar ahli. Pertimbangan-pertimbangan itu berupa saran, masukan, kritik, dan evaluasi, yang dimaksudkan memperbaiki dan menyempurnakan instrumen yang kita susun.
c. Validitas Kriterion
Validitas kriterion yang dimaksud di sini ialah validitas instrumen yang diperoleh dengan membandingkan instrumen yang kita susun/buat dengan suatu kriterium eksternal. Kriterion eksternal yang dimaksud di sini adalah berupa hasil pengukuran yang menurut pertimbangan rasional dapat dipertanggungjawabkan. Ada dua kriteria yang sering digunakan oleh para ahli, yaitu:
1. Kriterion konkaren (concurrent criterion), dan
2. Kriterion prediktif (predictive criterion).
Apabila peneliti menggunakan kriterion konkaren, peneliti harus mencari hasil-hasil pengukuran lain yang pernah dilakukan orang, mengenai domain yang sama dengan domain yang sedang kita siapkan instrumennya,yang dipandang atau diakui sudah valid. Sebagai contoh misalnya peneliti ingin menyusun instrumen mengenai tes masuk suatu perguruan tinggi. Untuk keperluan ini peneliti mengkomparasikan hasil tes masuk perguruan tinggi dengan nilai rapor akhir kelas III SMU, melalui analisis statistik korelasi. Bila hasil korelasi menunjukkan ada korelasi dengan taraf signifikansi 0,05, maka instrumen yang kita susun dapat disimpulkan sebagai instrumen yang valid.
Selanjutnya apabila peneliti ingin menggunakan kriterion prediktif, peneliti harus menunggu sampai diperolehnya hasil tes yang kita susun tersebut telah membuahkan hasil. Misalnya tes masuk sebuah mahasiswa sebuah perguruan tinggi itu dinyatakan baik (dalam hal ini valid), apabila tes yang dimaksud dapat memprediksi sukses mahasiswa setelah kuliah di perguruan tinggi tersebut. Sukses sebagai mahasiswa dapat ditunggu setelah mereka lulus menjadi sarjana. Hanya saja kalau kelulusan menjadi sarjana ini dipergunakan sebagai kriterion, maka peneliti harus menunggu 4-5 tahun, suatu waktu yang relatif lama. Bilamana peneliti merasa terlalu lama harus menunggu 4-5 tahun, peneliti dapat mengambil kriterion yang lebih pendek, misalnya hasil kelulusan mahasiswa pada semester pertama. Bila yang terakhir ini yang ditempuh, maka peneliti dapat membandingkan sekor hasil masuk perguruan tinggi dengan sekor mahasiswa pada akhir semester pertama, dengan jalan mengorelasikan sekor tes masuk dengan sekor akhir semester dari kelompok mahasiswa yang sama melalui analisis statistik korelasi. Bila hasil korelasi menunjukkan taraf signifikansi 0.05, maka instrumen yang disusun/dibuat dapat dinyatakan valid.
Apabila peneliti memilih menggunakan validitas kriterion, baik dengan menggunakan kriterion konkaren maupun kriterion prediktif, para ahli memberikan sejumlah pedoman untuk dipertimbangkan sehubungan dengan penggunaan kriterion ini, yaitu:
1. Bahwa kriterion yang digunakan harus relevan dengan instrumen yang sedang kita siapkan;
2. Bahwa kriterium yang kita tetapkan harus telah teruji secara emperis di lapangan, dan dipandang memiliki tingkat konsistensi yang cukup tinggi;
3. Bahwa kriterion yang digunakan harus sudah terbebas dari unsur-unsur bias;
4. Bahwa kriterium yang digunakan telah dipertimbangkan kelayakannya untuk tujuan-tujuan praktis tertentu.
Dari tipe-tipe validitas sebagaimana telah dibicarakan di muka, maka bila diringkas, tipe-tipe validitas tersebut dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. Validitas yang berorientasi pada hasil pengukuran, yang terdiri dari dua tipe, yaitu: validitas konkuren, dan validitas prediktif
2. Validitas teoritik atau logik atau konseptual, yang dikenal dengan validitas konstruk.

No comments: