Sunday, 20 January 2008

Tugas Akhir Evaluasi Prog. Pendidikan

Refleksi Tahun Baru Hijriyah

Hidup dan kehidupan ini laksana samudera dengan seluruh “hukum” riak dan gelombang-nya, yang mesti diseberangi oleh semua manusia. Ada saat-saat romantik sekaligus mengasikkan bagi manusia di tengah “pelayarannya”: ketika angin mendesir lirih menyapa kulit, layar dan kemesraan. Perahu terkembang merefleksikan alunan tembang yang dinyanyikan anak-anak rantau. Betapa mesranya. Namun bukanlah merupakan sesuatu yang tidak mungkin bila suatu waktu manusia mesti menghadapi angin puyuh yang terkadang sampai merobek layar dan kekaraman yang bisa datang tiba-tiba. Ngeri!

Metafor hidup memang warna-warni!
Berangkat dari realitas hidup yang serba variatif dan tak terlepas dari berbagai kemungkinan itulah Kanjeng Nabi Muhammad sebagai wujud resume dari seluruh semesta pepujian menyampaikan pesannya kepada umatnya lewatAbu Zar al-Gifari , agar mereka selamat mengarungi kehidupan dan kembali ke haribaan Akunya yang besar, Rabb Al-‘Alamin seraya Ridha dan diridhai.
Pesan Muhammad yang terdiri dari empat point itu jelas merupakan lentera penerang jiwa di tengah lorong-lorong kehidupan yang semakin terkabutioleh atmosfir noda-noda yang diproduksi oleh manusia sendiridari hari ke hari.
Pertama; “perbaharuilah perahumu karena samudera ini sangat dalam”.
Dalam menjalani hidup dan kehidupan di atas panggung maya pada ini dengan mengaplikasikan misi fitrah kholiqiyah yang berdimensi transendental, manusia mesti berhadapan dengan silang-menyilangnya koordinat “ekstrimis- ekstrimis” yang terus menerus silih berganti menarik dirinya: berbagai anugerah yang membawa kesenangan kerapkali menyeret dan menjebak manusia untuk mereduksi eksistensi dirinya yang holistik yang di “paketkan” Tuhan semula, sehingga terjermbab di tengah buih keluapan dan kubangan nestapa. Pada momentum ini manusia mentransfigurasikan kegagalannya untuk mentransendensikan berbagai anugrah tersebut, “mengembalikannya” kepada yang maha empunya: Gusti Allah. Demikian pula ketika dilanda bermacam kesulitan, kenelangsaan dan kesengsaraan yang merupakan ujian terhadap ketangguhan imannya, manusia seringkali “menciptakan” jalan buntu untuk tidak sampai pada tujuan yang sejati, yaitu tempat menyatunya awal dan akhir: Allah Rabbun Jalil.
Seperti halnya ketika manusia mengimplementasikan pertaruhan-pertaruhannya untuk mereguk keinginan-keinginanya yang disuarakan oleh gejolak syahwati yang tidak terdidik: tidak jarang mereka mendiskritkan dan bahkan menginjak ludes aturan main kehidupan yang tidak hanya berdampak destruktif terhadap kemanusiaan-nya sendiri, tapi lebih parah lagi bagi kehidupan masyarakat luas.
Kondisi syaitoniyyah sering terjadi di kalangan pemenang kekuasaan –baik di tingkat lokal maupun nasional- untuk merekrut keuntungan pribadi atau golongan tertentu. Kebutaan dan ketulian terhadap nasib orang lain telah merenggut mereka.
Itulah pemahaman saya terhadap puisi Muhammad: “samudera ini amat dalam”, yang badai dan gelombangnya terus menerjang manusia “untuk” berpasangan dengan maut kubro: suatu kematian yang tidak hanya menimpa jasadnya, tapi lebih merupakan wujud realitas ketercerabutan ruh kemanusiaan dan kehidupannya. Amat berbahaya.
Dengan demikian, maka adanya reformasi dan penyegaran terhadap syariat secara aplikatif yang diungkapkan dengan terminologi “perahu” dalam dunia sufistik sebagaimana pesan pertama Muhammad “perbaharuilah perahumu” merupakan keharusan kontinuitas bagi umat beragama –kaum muslimin secara spesifik- sehingga “stabilitas” perjalanan menuju Tuhannya tetap menyertai selama di atas arena pergulatan hidup. Karena saya sebagaimana juga mungkin anda, telah menyepakati bahwa syariat merupakan kontribusi Tuhan terbesar setelah nurani, yang keduanya diharapkan menemukan konfergensi baik pada tataran vertikal seperti ibadah mahdah maupun pada realita kehidupan sosial.
Istilah syariat di sini jelas tidak seperti yang terbayangkan dalam formulasi fiqih yang telah mengalami penyempitan dan bahkan distorsi. Teapi lebih merupak substansi dari “tawaran-tawaran” Tuhan lewat jalur para nabi dan rasulNya agar tercipta kedamaian, kehangatan dan kemakmuran dalam kehidupan.
Kedua: “persiapkanlah bekal yang banyak, karena perjalanan ini amat panjang”.
Semenjak bersentuhan dengan hidup, manusia berarti telah memasuki start pelepasan di arena perlombaan yang dicanangkan Tuhan yang berlaku sepanjang hayat: suatu “paket” kompetisi yang tugu finisnya merupakan barometer bagi keberhasilan dan kegagalan mereka merekrut bekal untuk kehidupan setelah kehidupan ini.
Istilah bekal di sini, tentu tidak menunjuk pada tumpukan uang atau materi sebagaimana yang dipergunakan seseorang ketika bepergian menuju negeri rantau, tetapi jelas memberikan aksentuasi kepada nilai dan hakekat perbuatan baik dan terpuji. Karena di alam akhirat kelak manusia “Cuma”menerima buah dari pohon kehidupannya yang ditanam di dunia sebagai konsekuensi logis. Juga secara esensial perjalanan hidup ini adalah perjalan ruhani. Bukan materi atau jasmani.
Dalam menempuh perjalanan hidup yang berkelok-kelok dan amat jauh ini, membawa bekal sebanyak-banyaknya merupakan suatu keharusan bagi manusia agar tetap dalam kondisi survive dan berseri ketika mau memasuki ruangan di pengadilan akbar: suatu pemeriksaan yang ultra ketat terhadap seluruh nilai perbuatan manusia yang digelar di hadapan Ahkamul Hakimin, Allah SWT.
Ketiga: “ Ringankanlah bebanmu, karena jalan mendaki ini teramat sulit dan melelahkan”.

Manusia dan seluruh kreasi Tuhan lain yang mewujud secara empirik di kehidupan ini adalah wujud nyata kerangka-kerangka yang bersemayam dalam diri-NYa di “zaman” azali. Semacam realitas percikan api yang dikeluarkan dari tubuhnya. Maka adanya manifestasi yang konkret dalam setiap perilaku dan sangkan paraning dumadi, la manja wala maljaa illa ilaika, merupakan tuntunan bagi manusia sebagai mahluk istimewa yang dipikuli amanah agar dapat kembali menyatu di pangkuanNya semula.
Siapapun yang berjalan di dunia spiritualitas, keberagamaan yang hakiki, mesti berpasangan dengan kemarung dan duri-duri kehidupan yang harus ditepis. Apalagi di era sekarang yang semakin dibanjiri hegemoni-hegemoni budaya destruktif yang mau menguburkan suara-suara ilahiyah yang bersumber dari jiwa. Kesucian yang merupakan partikuler cahaya Tuhan dalam diri manusia telah banyak diserimpung oleh nafsu materi dan kedudukan.

Betul-betul jalan mendaki yang tak semudah membalik tangan untuk melewatinya. Maka manusia yang menyadari posisi dirinya sebagai musafir menuju pertapaannya yang sejati: Allah, tidak akan menampakkan kedunguannya dengan menggendong beban yang berupa dosa-dosa untuk memberati dan merobohi dirinya sendiri. Mereka yang sebenarnya cerdas mesti membebaskan diri dari keterkaitannya dengan debu-debu maksiat yang menyendat langkah-langkahnya.

Dari sini kita dapat memahami, bahwa pelanggaran terhadap aturan yang digariskan Allah lebih menunjukkan indikasi kegoblokan ketimbang kejahatan.
Keempat: “Berikhlaslah dalam setiap perbuatanmu, karena zat yang membedakan antara yang haq dan yang bathil Maha melihat”.
Seluruh ajaran Islam pada intinya merupakan doktrin stimulatif bagi manusia untuk mengekspresikan kecintaannya kepada Sumber Segala cinta: Rabbul Jamali. Dari pemahaman ajaran tersebut, benih-benih cinta yang bersemi dalam cahaNya di relung jiwa manusia akan melahirkan prilaku-prilaku yang murni dan karenanya menjadi ikhlas.
Ikhlas adalah jantung dari segala perbuatan yang ditawajjuhkan kepada Allah SWT. Ikhlas adalah energi batinyiah yang sanggup memunculkan nilai-nilai substansial. Ikhlas adalah wujud nyata suara ruhiyah yang hanya berorientasi pada suatu arah: Allah SWT. Ikhlas adalah nur tauhidiyah yang kontradiktif dengan isyrak, yaitu pencampuradukan tujuan dalam berbuat.
Oleh karena itu manusia harus menyadari, bahwa semua tingkah laku akan menemukan posisinya di sisi Tuhan manakala telah tercuci dari sentuhan riya` dan sum`ah. Perbuatan manusia akan lolos di hadapan Tuhan hanya manakala bebas dari orientasi pamrih dari selainNya. Hanyalah perbuatan yang Allah Sentris yang akan menjadi pohon raksasa yang dapat dinikmati buahnya, berupa keteduhan batin dan ketegaran jiwa.
Di era konsumtivisme, industrialisme, hedonisme dan isme-isme lainnya sekarang ini, siapapun harus siaga dengan kuda-kudanya untuk menjernihkan metabolisme hati sebagai wahana pertarungan ketulusan dan kekeruhan kehendak. Karena sebagaimana kita sadari, betapa gejolak nafsu materialisme dengan seluruh ragam metodiknya telah begitu menjamur di panggung prilaku manusia. Betapa kecintaan terhadap kefanaan yang sia-sia semakin diperturutkan dan diumbar-umbar oleh bahasa gerak manusia. Jiwa yang merupakan cerminan dari wujud bayang-bayang Tuhan yang paling transparan semakin terhimpit langkahnya oleh keserakahan dimensi Iblisiyah manusia.

Wallahu A`lamu bish-Shawab

Bias Gender dalam Pendidikan

Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 mengakui secara gamblang bahwa status dan peranan perempuan dalam masyarakat Indonesia dewasa ini masih bersifat subordinatif dan belum sampai pada posisi sebagai mitra sejajar dengan laki-laki. Dengan demikian negara mengakui akan adanya ketimpangan gender tersebut. Indikator dari ketimpangan gender ini tercermin pada tingkat kualitas hidup perempuan Indonesia yang menduduki peringkat paling rendah di ASEAN.

Rendahnya kualitas hidup perempuan Indonesia terlihat pada beberapa aspek diantaranya adalah pada aspek pendidikan.Fakta menunjukkan rendahnya angka partisipasi perempuan di jenjang pendidikan tinggi, yakni kurang dari 5%. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat disparitas (ketidakseimbangan) gendernya. Data lainnya adalah angka buta huruf dikalangan perempuan masih sangat tinggi: kurikulum serta materi bahan ajar masih sangat bias gender; dan hampir seluruh proses pengelolaan pendidikan masih dirumuskan berdasarkan pandangan yang male bias sebagai akibat dari masih dipegangnya sebagian besar penentu kebijakan pendidikan oleh laki-laki.

Sebagai bukti bahwa pemegang kebijakan dalam bidang pendidikan lebih di dominasi laki-laki dibandingkan perempuan dapat dilihat pada perbandingan dari setiap 100 guru SD, 54 orang adalah perempuan dan dari 100 guru sekolah menengah, 38 orang diantaranya adalah perempuan. Sementara itu tenaga dosen lebih dominan laki-laki, dari 100 dosen hanya 29 orang adalah perempuan.

Kepemimpinan dalam pendidikan juga lebih didominasi laki-laki dibandingkan perempuan

Sementara itu komposisi kepala madrasah negeri berdasarkan gender pada tahun yang sama juga lebih di dominasi laki-laki; 80,7 (laki-laki) sementara 19,3 (perempuan). Di atas jelas menunjukkan meski acuan ideologi gender juga melekat dalam dunia madrasah tetapi jumlah keterwakilan perempuan sebagai tenaga kependidikan tidak terpresentasikan dalam kepemimpinan kependidikan, meski kenyataannya rasio perempuan sebagai tenaga kependidikan lebih banyak daripada laki-laki

Paparan diatas jelas menggambarkan kecenderungan siswa perempuan lebih banyak daripada laki-laki untuk masuk ke madrasah. Kenyataan di atas sesungguhnya banyak mengandung muatan yang berkaitan dengan ideologi gender yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan „sebagai penjaga moral“ maka dengan sendirinya banyak anak perempuan yang dimasukkan ke madrasah yang selama ini dikenal sebagai salah satu jenjang pendidikan yang bernuasa agama atau memberikan pendidikan keagaman lebih besar dibandingkan sekolah umum.

Sementara untuk anak laki-lakinya dipilihkan sekolah umum dengan harapan setelah menyelesaikan sekolahnya dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan hal ini sesuai dengan konstruksi masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga yang berkewajiban mencari nafkah.

Jika dianalisa lebih mendalam sesungguhnya ketika orang tua lebih banyak yang memasukkan anak perempuannya ke Madrasah Aliyah dibandingkan anak yang laki-laki hal ini juga dikarenakan berkembangnya ideologi gender di masyarakat yang menganggap peran perempuan lebih banyak dalam ranah domestik ( rumah tangga), dengan sendirinya perempuan dituntut untuk menjadi ibu dan isteri yang baik dengan kriteria antara lain; patuh dan taat kepada suami dan menjadi pelayan yang baik bagi anak dan suaminya. Dengan kata lain tugas mulia perempuan adalah –menjaga tatanan moral-Keluarga.

Bias Gender dalam buku ajar Agama Islam

Terdapat beberapa bagian yang bias gender dalam kurikulum agama Islam diantaranya pada materi aqidah-akhlaq dan fiqh-ibadah. Sebagai contoh dalam buku ajar agama Islam untuk kelas 4 SD,bab XIV tentang “Iman kepada Rasul-rasul Allah, “ dijelaskan bahwa ‘pengertian Nabi ialah seorang manusia biasa (laki-laki) yang menerima wahyu dari Allah Swt. Untuk dirinya sendiri. Rasul ialah seorang manusia biasa (laki-laki) yang diutus oleh Allah dan menerima wahyu untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya”.

Selain itu, dalam buku-buku ajar agama Islam untuk SD mulai kelas 1-3, Kisah-kisah Nabi dan Rasul diceritakan hanya kisah Nabi dan Rasul dari kaum laki-laki saja. [13]Hal senada juga dapat dilihat pada tema Profil tokoh di dalam buku ajar SMP kelas 3 terbitan Ganeca [14] juga pada tema Sepenggal Kisah atau Kisah Islami dalam buku ajar SD Kelas 1-6 terbitan Erlangga. Di dalam dua buku terakhir yang penulis sebutkan profil tokoh yang dikisahkan lebih banyak pada gambaran ketokohan dan ketauladanan seorang laki-laki dibandingkan perempuan. [15] Dari teks di atas dapat dipahami bahwa yang dapat menjadi nabi dan rasul hanyalah seorang yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan perempuan tidak dapat menjadi seorang nabi dan rasul.

Bias Gender yang lain dalam buku ajar Agama Islam juga terdapat dalam bentuk gambar dimana dalam topik Takabur(sombong) digambarkan sekelompok perempuan yang sedang membicarakan seorang perempuan yang sombong.

Secara implisit ilustrasi gambar yang diberikan juga telah menumbuhkan dan membangun bias gender bagi yang membaca ataupun melihatnya dimana perempuan akan diidentikan dengan sosok yang suka mengunjing, menggosip dan sebagainya. Hal senada juga dapat dilihat pada bahasan rukun iman dimana terdapat satu keluarga yang sedang beraktifitas; sosok anak laki-lakinya digambarkan sedang belajar, Ayahnya sedang melihat pemandangan, sementara si Ibu memasak di dapur.

Selain melalui gambar, bias gender juga dapat terlihat pada ungkapan ataupun narasi kalimat dalam uraian materi.Dalam uraian pokok bahasan adab makan dan minum, terdapat kalimat,” kemudian bantulah ibumu membereskan meja makan’ dengan ilustrasi gambar adegan keluarga yang selesai makan,si Ibu dan anak perempuan membereskan peralatan makan, sementara ayah dan anak laki-lakinya sedang berbincang-bincang.Hal ini jelas sekali menunjukkan domestifikasi pekerjaan perempuan.

Kalimat yang mengandung bias genderpun terdapat dalam bahasan pengenalan huruf dan tanda baca al-Qur’an:

Kalimat-kalimat di atas tersebut mensosialisikan domestifikasi pekerjaan perempuan dalam rumah tangga. Sementara itu dalam tema-tema tentang wudu, salat berjama’ah (fiqih) mayoritas gambar yang dibuat adalah gambar laki-laki.Penggambaran ini bagi penulis juga bernuasa bias gender karna kewajiban pelaksanaan dan praktek ibadah (fiqih) tidak hanya dibebankan kepada laki-laki tetapi juga bagi perempuan.

Persoalan bias gender kedua dalam masalah fiqih, yang lain adalah tentang salat jama’ah, munakahat, udhiyah dan mawarits.(1) Dalam buku pendidikan Agama Islam untuk SD KELAS 3 Bab VI tentang Shalat jama’ah [20] dijelaskan bahwa ketentuan menjadi imam, yaitu :(a)laki-laki mengimami laki-laki-laki;(b)laki-laki mengimami perempuan; (c)perempuan mengimami pertempuan; (d)laki-laki mengimami banci;(e)banci mengimami perempuan [21]. Dalam buku itu, Latihan II No.3, terdapat pertanyaan: “ Bolehkan perempuan mengimami laki-laki ?”

Hal senada juga terdapat dalam buku Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam untuk kelas 1 SLTP, Bab VII tentang salat berjama’ah,dijelaskan bahwa syarat-syarat menjadi imam, yaitu; (a)sehat akalnya;(b)harus baik dan benar bacaannya; (c)harus laki-laki( tidak boleh perempuan menjadi imam laki-laki;(d)lebih tua umurnya;(f)hendaknya memiliki pengetahuaan yang memadai, khususnya tentang salat berjama’ah.

Dari teks di atas, dapat dipahami bahwa perempuan tidak dapat menjadi imam bagi laki-laki dengan dipertegas salah satu syarat untuk menjadi imam adalah harus laki- laki (tidak boleh perempuan menjadi imam). Dari teks ini timbul pertanyaan, “Mengapa perempuan tidak boleh mengimami laki-laki?’, “bagaimana jika yang menjadi makmum itu laki-laki yang masih kanak-kanak?”, “ atau bolehkah perempuan mengimami laki-laki karena bacaan salatnya lebih fasih dan ‘alim dibandingkan laki-laki yang menjadi makmum?’.

(2) Dalam buku Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam untuk kelas 1 SLTP, Bab XII tentang munakahat, dijelaskan bahwa” dalam ajaran Islam tidak ada larangan seorang laki-laki beristri sampai batas empat. Akan tetapi, untuk melaksanakan hal itu harus dapat memenuhi syarat-syarat yang sangat berat, yaitu bisa berlaku adil dalam mengatur kebutuhan tiap-tiap istri”. Dasar hukum yang digunakan adalah surah An-Nisa : 3. Selain itu, dijelaskan bahwa salah satu alasan boleh melakukan poligami adalah untuk menghindarkan seorang laki-laki melakukan perzinahan, karena istrinya dalam keadaan sakit yang menahun dan tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri, dan sebaginya.

Dari teks tersebut, tampak bahwa dasar hukum bagi poligami diambil dari surah An-Nisa ayat 3 dan Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 5 tentang poligami yang menjelaskan bolehnya poligami yaitu :(1) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri; (2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan (3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Berdasarkan Asbab an-Nuzul diketahui jelas permasalahan ayat tersebut bukan dalam konteks perkawinan melainkan dalam konteks pemeliharaan anak yatim. Dalam masalah ini penyusun buku tampaknya memandang alasan dibolehkannya praktik berpoligami hanya dilihat dari perspektif kepentingan laki-laki, tidak mempertimbangkan kepentingan perempuan. (3) Dalam buku Pedoman Belajar Agama Islam untuk SLTP kelas 2, bab 13 tentang udhiyah, dijelaskan bahwa,” aqiqah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan anak perempuan sebanyak satu ekor kambing [25]’.Dari teks ini dipahami bahwa adanya diskriminasi terhadap anak, yaitu harga anak laki-laki dua kali lipat harga anak perempuan (2:1). Terdapat bias gender disana, pertanyaannya “ Mengapa harus dibedakan antara anak laki-laki dan perempuan?’.

(4) Dalam buku Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam untuk kelas 3 SMU, Bab mawarits, dijelaskan bahwa” bagian satu anak laki-laki dua kali lipat bagian satu anak perempuan ketentuan mawarits ini didasarkan pada surah an-Nisa ayat 11 bahwa “ Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu, bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan….

Dari teks di atas, dapat dipahami bahwa harga seorang perempuan itu hanya setengah seorang laki-laki. Sementara itu menurut Huzaemah Tahido Yanggo dalam melihat Asbab an-nuzul ayat ini menyatakan bahwa hal ini menunjukkan Islam bertujuan meningkatkan hak dan derajat perempuan, pada satu sisi. Pada sisi yang lain, menunjukkan adanya kesejajaran dalam perolehan hak kewarisan, perempuan tidak selalu mendapatkan setengah dari bagian laki-laki.